Mendidik Pemenang Bukan Pecundang

Bentang Pustaka
Chapter #1

Kata Pengantar

“Our critic make us strong. Our fears make us bold. Our haters make us wise. Our foes make us active. Our obstacle make us passionate. Our losses make us wealthy. Our disappointment make us appointed. Our unseen treasures give us a known peace. Whatever is designed against us will work for us.”

—Israelmore Aviyor

Perusahaan-perusahaan Jepang sedang berguguran. Perusahaan-perusahaan Korea berkilau bagai bintang. Perusahaan-perusahaan Tiongkok bak meteor. Tak tampak lagi gadget (gawai) merek Jepang di pasar dunia. Korea nomor satu. Tiongkok nomor dua. Fenomena ini sebenarnya sudah diprediksi oleh Hasanudin Abdurakhman, seorang dosen dan peneliti Indonesia yang dua dekade lalu belajar di Jepang. Menurutnya, saat itu tampak jelas siapa yang sesungguhnya bekerja keras di berbagai universitas dan lembaga riset Jepang. Struktur lembaga riset universitas nyaris seragam. Ada profesor Jepang. Ada associate professor atau assistant professor berkebangsaan Korea dan Tiongkok. Mahasiswanya dari Jepang, Korea, Tiongkok, dan negara-negara Asia lainnya. Orang Tiongkok dan Korea terkenal sebagai pekerja keras, ulet, dan tekun.

Orang-orang Tiongkok dan Korea yang belajar ke Jepang bukan berlatar belakang priayi atau dari kalangan elite. Kebanyakan dari mereka adalah rakyat jelata yang bermodal otak. Mereka kuliah sambil bekerja paruh waktu, yang praktiknya nyaris sepenuh waktu. Waktu 24 jam dalam sehari dihabiskan untuk kuliah dan bekerja. Segala jenis pekerjaan rela mereka lakukan. Tanpa kecuali yang bersinggungan dengan dunia abu-abu (prostitusi), bahkan dunia hitam (kriminalitas).

Bagaimana dengan orang-orang Jepang? Meski tak kaya raya, mereka adalah orang-orang mapan. Mungkin mereka sudah terbiasa melihat para orangtua mereka bekerja. Mereka berpikir, nanti juga akan dapat kerja. Banyak perusahaan yang mau menampung. Karenanya, tak heran bila generasi muda Jepang banyak yang bermalas-malasan. Di universitas besar seperti Tohoku situasinya masih cukup baik. Banyak mahasiswa Jepang cerdas yang serius belajar. Kendati sudah jauh bila dibandingkan dengan mahasiswa Korea dan Tiongkok. Di universitas kecil di daerah situasinya sudah sangat parah. Mahasiswa kuliah asal-asalan. Etos kerjanya sangat rendah.

Hasanudin Abdurakhman berpengalaman membimbing mahasiswa sejak ia masih kuliah doktoral hingga empat tahun post doctoral. Mahasiswa Jepang pergi ke kampus lebih banyak untuk main internet atau game ketimbang belajar. Beberapa di antaranya malah sibuk berjudi dan main Pachinko. Para guru besar sering mengeluhkan para mahasiswanya. Sayangnya para profesor di Jepang tak lagi punya ketegasan.

Mahasiswa di bawah bimbingan profesor harus lulus saat akhir masa studi. Kalau tidak lulus, pembimbingnya akan mendapat malu. Ada satu mahasiswa yang dulu Hasanudin Abdurakhman bimbing. Hanya sekali melakukan eksperimen kemudian menghilang sampai menjelang kelulusan. Pemimpin Abdurakhman yang panik mencari mahasiswa itu. Akhirnya anak itu dipaksakan lulus dengan karya tulis memakai data milik temannya.

Tahun 2000, Hasanudin Abdurakhman melihat tayangan TV NHK tentang rekrutmen yang dilakukan Sony di sebuah universitas di Tiongkok. Sony, raksasa elektronik Jepang waktu itu, sampai melakukan rekrutmen untuk riset mereka dari universitas di Tiongkok. Itulah lonceng awal kematian industri elektronik Jepang.

Abdurakhman mendiskusikan acara itu dengan Sensei, pemimpinnya. Mereka berdua berpendapat sama. “Jepang sekarang ini seperti pesawat yang sudah terbang tinggi. Lalu mesinnya mati. Jadi tinggal menunggu jatuhnya saja,” ujar Sensei. Ucapan Sensei 16 tahun lalu itu mungkin agak berlebihan, tetapi sekarang terbukti benar.

Apakah ini berarti ekonomi Jepang akan hancur? Ada banyak sektor lain yang menunjukkan Jepang masih unggul. Di sektor advanced material misalnya, perusahaan-perusahaan Jepang masih mendominasi. Demikian pula untuk industri lain seperti industri otomotif dan peralatan berat.

Bagi Hasanudin Abdurakhman, kunci kemajuan suatu bangsa ada pada generasi muda. Etos anak muda Jepang yang sudah menurun tersebut menjadi penyebab kemunduran Jepang.

Lihat selengkapnya