Guru Nge-tweet Berdiri, Murid Selfie Berlari
“Perbedaan orang pandir dengan orang genius
adalah orang genius punya batas.”
—Albert Einstein
Ada seorang kaisar yang hanya peduli pada pakaian alias penampilan luarannya. Suatu hari, dua orang penipu ulung meyakinkan kaisar kalau mereka bisa merancang adibusana dari kain paling anggun. Hanya kaum miskin dan bodoh yang tidak bisa melihat kain istimewa itu. Kaisar mengutus dua orang kepercayaannya menyelidiki kehebatan kain itu. Kain itu sebenarnya tidak ada. Kendati demikian, kedua penasihat tak mau berterus terang kepada kaisar. Mereka justru memuji setinggi langit kain milik penipu.
Rumor kain ajaib segera menyeruak ke segala penjuru kekaisaran. Kaisar memperbolehkan para penipu mendandaninya dengan setelan baru untuk prosesi mengelilingi kota. Kaisar sesungguhnya menyadari kalau dirinya hendak ditelanjangi. Namun, dia tidak mau mengakuinya. Dia tidak mau dianggap miskin dan bodoh oleh rakyatnya.
Segenap warga kota menyanjung kemegahan adibusana kaisar. Warga rupanya takut berterus terang kalau kaisar berparade telanjang menunggang kereta. Kehebohan pecah saat seorang bocah polos berteriak, “Kaisar telanjang!”
Orangtua si bocah terkesiap. Mulut anaknya dibungkam rapat-rapat. Si bocah terus meronta, tidak mau tinggal diam.
Teman-teman si bocah polos itu ikut-ikutan berseru. Kerumunan orang dewasa pun mulai gaduh dan berisik. “Anak-anak benar! Lelaki tua itu tidak mengenakan selembar benang pun. Dia pandir. Kaisar berharap kita rakyatnya sama dungunya seperti dia.” Kaisar tidak memedulikan teriakan dan suitan kerumunan massa yang mulai mencibirnya. Dia terus mengangkat kepala tinggi-tinggi dan menyelesaikan prosesi.
***
Dongeng kaisar telanjang ditulis Hans Christian Andersen, pengarang masyhur Denmark, pada 1837. Dongeng itu masih dan tetap relevan untuk memperingatkan dunia pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia, terlebih pada zaman digital, tidak pernah mengakui kalau tidak mempersiapkan anak-anak menghadapi dunia nyata. Anak-anak meninggalkan bangku sekolah dalam kondisi telanjang. Mereka lulus dengan nilai istimewa dari perguruan tinggi terbaik negeri ini, tetapi seumur hidup dipaksa berparade dalam prosesi tipu menipu diri sendiri sebagai manusia pecundang.
Kali pertama dalam sejarah, dunia kerja dan lembaga pendidikan di Indonesia diisi empat generasi sekaligus: generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi smartphone. Abad ke-21 merupakan milenium konvergensi keempat teknologi itu. Generasi terakhir yang lahir dan dibesarkan pada awal dekade 2000-an, secara demografis dijuluki Millenium Generation (Gen M). Secara psikografis disebut Connected Generation (Gen C). Gen C, mengacu peranti genggam cerdas yang ke mana-mana mereka bawa, merupakan generasi gadget (gawai).
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sumber dari segala penggerak perubahan tanpa kecuali dunia pendidikan. Eksklusif menjadi inklusif. Sekat dan tabir sosial dirobohkan internet. Masyarakat makin inklusif dan transparan. Vertikal menjadi horizontal. Relasi kuasa guru-murid atau dosen-mahasiswa tidak relevan lagi. Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber knowledge dan wisdom. Kompetisi individual bergeser menjadi sinergi sosial.
Zaman mutakhir sekarang ini bercorak VUCA: vitality (dinamis dan cepat berubah), uncertainty (sulit diprediksi), complexity (rumit penuh komplikasi), dan ambiguity (membingungkan). Rhenald Kasali, dalam Agility: Bukan Singa yang Mengembik (2014), mencatat pada era trend break penuh ketidakpastian ini, generasi muda Indonesia abad ke-21 dibedakan jadi dua tipe: driver (pengemudi) dan passenger (penumpang).
Driver tahu alternatif jalan baru di luar jalan yang lazim ditempuh. Berani mengambil risiko tersesat tanpa melanggar hukum. Penumpang boleh terdiam, mengantuk, tertidur, makan-minum, bercanda, tidak perlu tahu arah jalan, bahkan tidak perlu merawat kendaraan.
Pendidikan membentuk manusia berjiwa penumpang angkot atau bus kota. Sejak SD murid dibiasakan duduk manis, melipat tangan, dan menghafal. Meneruskan sejarah menggambar dua gunung berjajar, awan di atasnya, sawah di bawah, berikut jalan rayanya. Mata pelajaran seabrek, tetapi tidak mendalam. Rumus sulit dibuatkan jembatan keledai agar mudah diingat. Pengajaran ini menghasilkan manusia bermental penumpang.