“Kegilaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang seraya mengharapkan hasil yang berbeda.”
—Albert Einstein
Sekelompok pencuri menyatroni toko perhiasan. Mereka tidak mencuri apa pun, hanya menukar-nukar label harga. Esoknya, perhiasan yang sangat mahal dijual dengan harga obral. Perhiasan murahan dijual dengan harga selangit. Masyarakat zaman sekarang, menurut filsuf Denmark, Soren Kierkegaard, punya kecenderungan kuat untuk mengacaukan harga dengan nilai.
Orang dihargai sesuai dengan penampilan mereka, bukan karakternya. Calon bayi yang diduga cacat diaborsi karena harga yang harus dibayar orangtua untuk merawat bayi itu di masa mendatang sangat besar. Mereka tidak melihat nilai intrinsik ciptaan Tuhan tersebut.
Orang dianggap terpandang bila bisa masuk daftar 100 orang terkaya, tidak peduli nilai-nilai apa yang ia langgar untuk mendapatkan status itu. Mereka yang mengendarai Porsche dihargai lebih tinggi dan dianggap lebih berbahagia hidupnya ketimbang penumpang kendaraan umum. Padahal belum tentu demikian. Jangan bingung antara harga dan nilai. Harga adalah sederet angka yang ditetapkan masyarakat. Nilai ditanamkan Tuhan. Nilai diperjuangkan dalam hidup manusia.
Uang, jabatan, dan kekuasaan memang berharga. Namun, cinta kasih, kemurahan hati, kejujuran, kesetiaan, karakter luhur, jauh lebih bernilai. Nilai lebih penting dari harga. Keberadaan sekolah disebut bernilai dan bermakna bila membuat para guru dan membuat para muridnya kasmaran belajar.
***
Malam itu, 8 Maret 2011, saya berbincang dengan Lody F. Paat, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Saya mendiskusikan berbagai isu pendidikan. Sungguh mencerahkan. Pak Lody menjelaskan perihal sekolah berkualitas berdasarkan pandangan Prof. Soedjatmoko—pemikir visioner dekade 1980-an.
Menurut Soedjatmoko, ujar Pak Lody, jantung hati sekolah berkualitas ada tiga. Perpustakaan, laboratorium, dan interaksi. Jantung hati di sini maksudnya kriteria-kriteria esensial.
Perpustakaan merupakan jantung hati pertama sekolah yang berkualitas. Perpustakaan adalah suatu ruangan yang berisi koleksi buku ataupun sumber informasi lainnya, seperti majalah, koran, film, CD, dan internet. Sumber-sumber informasi ini dapat dibaca dan digunakan oleh murid untuk mencari informasi.
Saya berteman dengan seorang guru SD di Bandung. Di sekolahnya, kemampuan membaca dan mencari informasi melalui berbagai teks tertulis dianggap sebagai salah satu kemampuan dasar. Di sekolah itu, murid sengaja tidak diperkenalkan pada internet (terutama di sekolah), sebelum muridnya mempunyai kemampuan dasar untuk mencari informasi dan pengetahuan di perpustakaan, khususnya melalui buku.
“Bukannya mengenyampingkan internet. Di sekolah, saya percaya bahwa kemampuan mencari informasi di perpustakaan dan kemampuan untuk mengolahnya menjadi pengetahuan merupakan skill dasar. Mereka harus mempunyai keterampilan ini terlebih dahulu. Nanti kalau sudah kuat dasarnya, baru diperkenalkan pada internet,” ujarnya.
Asumsinya, ketika murid mahir mencari informasi dari buku-buku, kemahiran ini akan memudahkannya dalam mengoperasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Orang-orang yang cekatan mencari informasi melalui buku, saat mengenal TIK, biasanya lebih cepat belajar memanfaatkan TIK untuk mengolah informasi yang diperolehnya menjadi pengetahuan. Berbeda dengan orang yang hanya menjadi konsumen TIK. Contohnya, seorang guru yang meminta saya untuk menyediakan compact disk (CD) pembelajaran. Guru bermental konsumen ini hendak menggunakan CD pesanannya untuk mengajar di kelas.