Malam itu terasa lebih gelap dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Tidak terlihat bulan bersinar di langit karena tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan. Hewan malam lebih senang berdiam diri di dalam sarang hangat mereka daripada berkeliaran, seolah paham bahwa malam ini berbeda dengan malam-malam yang lain. Angin malam sesekali bertiup kencang memaksa daun dan ranting pada pohon-pohon bergerak pasrah kemana arah angin berhembus. Mengeluarkan suara-suara yang cukup membuat bulu kuduk berdiri apabila ada orang yang melintas di dekatnya.
Sukar sekali memang untuk tidak merasa takut bila kita dihadapkan pada situasi serupa. Walaupun pada kenyataannya kita sadar bahwa kita sejatinya hanya diharuskan takut pada Sang Pencipta. Akan tetapi karena keterbatasan pikiran dan pengertian sebagai seorang manusia, kadang kita masih takut akan segala sesuatu yang mungkin hanya tercipta karena rasa prasangka. Betapa dunia ini akan terlihat jauh lebih indah jika kita mampu menghilangkan semua prasangka tersebut. Melihat bahwa dunia dan segala isi di dalamnya merupakan sesuatu hal yang sungguh menakjubkan dan harus selalu kita syukuri.
Tiga bayangan berlari dengan cepat menembus pekatnya malam. Seolah tidak ingin terlambat akan sesuatu hal, mereka terus bergerak beriringan menyusuri jalan yang agak mendaki. Di kiri dan kanan jalan tersebut ditanami pohon lamtoro yang tumbuh rapi berjejeran. Gerakan mereka yang ringan dan tanpa menimbulkan suara, menunjukan bahwa orang-orang ini memiliki kemampuan tinggi dalam meringankan tubuh. Mereka masing-masing membawa sebilah pedang yang disangkutkan di belakang punggung dengan bentuk gagang pedang dan warna yang serupa.
Tiba-tiba orang yang berlari di tengah berhenti dan mengangkat tangan kanannya keatas memberi tanda. Dua orang di sisi kanan dan kiri serentak berhenti dan diam menunggu. Orang yang berdiri di tengah tetap tegak diam hanya matanya yang tajam menatap ke arah depan. Nafas ketiga orang itu tampak sangat teratur walaupun mereka baru saja berlari dengan kecepatan tinggi.
“Ada apa, Kakang Reja?”
Orang yang di sebelah kiri bertanya karena merasa heran kenapa mereka menghentikan perjalanan secara tiba-tiba. Orang yang di sebelah kanan mengedarkan pandangannya memperhatikan keadaan di sekitar mereka. Karena malam begitu gelap maka jarak pandangnya pun menjadi sangat terbatas. Tapi yang ia tahu, mereka sekarang berada di tengah-tengah sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
Pakaian mereka semua sama berwarna kuning. Yang membedakan adalah ikatan kain yang digunakan sebagai pengikat pinggang mereka. Orang yang ditengah memakai kain berwarna merah, sedangkan dua orang di kanan dan kirinya menggunakan kain berwarna kuning sewarna dengan pakaian mereka. Kain merah yang mengikat pinggang orang yang berdiri di tengah terlihat bergerak sebentar-sebentar akibat tiupan angin malam. Sama seperti dua orang di kanan dan kirinya, pakaian mereka terbuka tak dikancingkan pada bagian dada menampakan dada-dada bidang laki-laki jantan dan perkasa. Bentuk tubuh mereka hampir sama padat terisi otot-otot bukti hasil latihan keras bertahun-tahun. Kepala mereka bertiga di ikat dengan semacam kain berwarna hitam dan membiarkan rambut mereka dibagian belakang lepas bebas dimainkan angin.
Orang yang di tengah yang di panggil Reja itu hanya diam.Ia lalu merendahkan badannya dan perubahan gerakan ini diikuti oleh dua orang lainnya. Reja kemudian menarik nafas dalam dan berkata dengan suara pelan.
“Mungkin memang sudah kehendak Yang Diatas.” Lebih kepada dirinya sendiri.
“Apa maksud, Kakang?” Kali ini orang yang di sebelah kanan bertanya.
Reja hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu dan berkata dengan suara pelan kepada orang yang berada di sebelah kanannya yang memiliki wajah jauh lebih muda dari dua orang yang lain.
“Apakah masih tetap kau simpan benda itu, Panji?”
Pemuda di sebelah kanan mengangguk.
“Tak pernah benda ini meninggalkan ikat pinggangku setelah kita bertiga keluar dari ....”
“Jagalah dengan baik benda tersebut.”
Reja memotong ucapan Panji sebelum pemuda itu selesai mengucapkan kalimatnya. Panji menjawab dengan anggukan kepala.
“Tapi ada apa sebenarnya, Kakang?” Orang yang di sebelah kiri bertanya.
Reja tak segera menjawab. Matanya lurus memandang ke arah depan. Perlahan ia memandang bergantian ke arah orang yang berada di sebelah kanan dan kiri.
“Kita sudah di tunggu oleh beberapa orang di depan sana.”
Wajah dua orang yang berada di kanan dan kiri Reja mendadak menegang.
Sampai detik ini, mereka sama sekali tidak mendengar ataupun menangkap gerakan satu sosok pun di depan mereka. Tapi seandainya Reja berkata demikian, maka mereka pun mempercayainya. Mereka tahu bahwa kemampuan kakak seperguruan mereka ini jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka. Walaupun mereka bertiga telah menguasai ilmu yang sama akan tetapi tetaplah kemampuan Reja berada jauh di atas mereka. Terutama dari sisi kemampuan mengolah tenaga dalam. Kemampuan kakak seperguruan mereka ini bisa dikatakan satu tingkat di bawah kemampuan guru mereka.
“Mungkin hanya warga dukuh yang meronda keliling, Kakang.”
Panji berkata mencoba menenangkan diri, seraya mengalihkan pandangannya melihat ke depan. Mencoba siapa tahu dia bisa menangkap sosok-sosok yang di maksud oleh kakaknya itu. Tapi percuma, matanya hanya menatap ujung jalan yang gelap oleh pekatnya malam.
“Dari gerak-gerik mereka, mereka bukanlah warga dukuh yang sedang keliling meronda.” Reja menjawab masih dengan suara pelan.
“Jangan-jangan mereka tahu rencana kita.”
Orang di sebelah kiri berkata dengan nada cemas. Alisnya yang tebal tampak bergerak ke tengah seolah membentuk sepasang sayap burung rajawali.
Reja yang membaca nada kecemasan dari ucapan orang di sebelah kiri ini tersenyum.
“Jangan cepat mengambil kesimpulan, Praja. Kita masih belum tahu apa maksud mereka. Siapa tahu mereka hanyalah sekelompok orang yang ingin pergi ke kademangan akan tetapi saat ini mereka sedang beristirahat.”
Praja diam dan mengangguk.
Dalam hati dia membenarkan ucapan kakaknya tersebut. Buat apa dia berprasangka akan sesuatu hal yang mungkin saja belum tentu benar. Akan tetapi, walaupun dia setuju dengan ucapan Reja, masih ada perasaan cemas menggelayut dalam hatinya. Bagaimana seandainya apa yang ia duga ternyata benar? Bagaimana bila ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang dimaksud oleh guru mereka? Tapi, mengapaorang-orang itu tahu pergerakan mereka? Apakah ada mata-mata yang telah membocorkan rahasia pergerakan mereka? Kalau memang ada mata-mata, sejauh mana berita yang seharusnya menjadi rahasia ini bocor?
“Mungkin ini jalan terbaik.”
Ucapan Reja membuyarkan semua lamunan Praja.
Panji yang saat itu tengah mencoba menangkap suara ataupun gerakan mencurigakan di ujung jalan pun menoleh ke arah Reja.
“Terpaksa rencana awal kita ubah.”
Reja berkatadengan nada suara tegas. Membuat dua orang adiknya terdiam.
“Panji, kau dengarkan aku sampai selesai. Jangan kau bantah omonganku dan jangan pula kau menolaknya.”
Panji mengangguk dan anggukan ini dibalas dengan senyuman oleh Reja.
“Apapun yang terjadi, benda itu harus sampai ke tujuannya. Tidak boleh gagal. Kau masih ingat pesan terakhir guru?Benda itu harus di serahkan kepada adik seperguruan guru kitayang bernama Ki Panggayuh. Karena memang dari awal benda itumilik Ki Panggayuh yang hanya dipinjamkan kepada guru.”
“Ingat, Kakang.” Panji berkata dengan suara pelan.
“Nah, selesaikanlah tugasmu itu. Kita berpisah di sini. Aku dan Praja akan mengambil jalan lurus yang nanti akan bertemu dengan sekelompok orang itu. Mudah-mudahan mereka tidak memiliki maksud buruk. Sedang dirimu sendiri, ambilah jalan ke arah kanan ke arah Kali Pasir. Walaupun jaraknya lebih jauh, tapi kita mencoba menghindari kemungkinan terburuk.”
Terkejut hati Panji mendengar ucapan kakak yang sangat ia hormati itu.
Dengan kata lain, ia diperintahkan untukmembiarkan dua orang saudara seperguruannya menempuh bahaya yang mungkin saja sudah menanti di depan mata mereka.Betapa hati Panji terasa berontak begitu tahu apa yang telah direncanakan kakak seperguruannya Reja. Di satu sisi, ia siap menghadapi segala sesuatu bersama saudara-saudara seperguruannya itu, tapi di sisi lain, amanat gurunya sebelum menghembuskan nafas terakhir terngiang di telinganya.
Panji terdiam tak mampu berkata-kata.
Praja yang tahu bagaimana pergolakan perasaan Panji hanya bisa memandang. Ia paham betapa Panji sebenarnya ingin tetap ikut bersama mereka. Akan tetapi seandainya memang orang-orang di depan itu berniat buruk dan benda tersebut jatuh ke tangan mereka, maka akibatnya sungguh tidak dapat Praja bayangkan.
Praja kemudian bergerak mendekati Panji dan menepuk bahu pemuda itu.
“Panji, seperti apa yang dikatakan oleh Kakang Reja, belum tentu mereka yang di depan sana memiliki niat buruk. Seandainya pun memang demikian, tak perlu engkau merasa khawatir.Mudah-mudahan kami berdua bisa mengatasinya. Sedapat mungkin kita memang mencoba menghindari adanya perselisihan. Tapi jika perselisihan itu tak bisa dihindarkan, kita tetap berusaha agar jangan jatuh korban sehingga tidak menimbulkan dendam dihati orang-orang dikemudian hari. Marilah kita berdoa semoga semua baik-baik saja. Kita serahkan segalanya kepada Sang Pencipta.”
Panji yang mendengar ucapan Praja ini hanya bisa mengangguk.
Reja yang mendengar ucapan Praja pun tersenyum.
Bangga dirinya memiliki dua orang adik seperguruan seperti mereka. Walaupun kedua orang ini bukanlah saudara sedarah, akan tetapi dikarenakan bertahun-tahun tumbuh dan berlatih bersama di dalam padepokan, membuat ikatan batin diantara mereka jauh lebih erat melebihi saudara.
Reja pun mendekati Panji dan menepuk bahunya lembut.
“Baiklah kalau kau sudah mengerti akan tugasmu, Panji. Bergeraklah sekarang ke arah kanan dan berjalanlah ke arah Kali Pasir. Setelah engkau menyeberangisungai itu, ambilah jalan memutar yang menuju ke arah Bukit Jamur. Tunggulah kami di jalan setapak yang ada di kaki bukit tersebut. Kalau matahari sudah sampai di atas kepala dan kami berdua belum juga tampak,teruskan perjalananmu ke atas bukit tersebut dan carilah sebuah rumah kecil yang ada di atas bukit. Itulah rumah Ki Panggayuh. Serahkan benda itu kepadanya dan katakan bahwa dirimu berasal dari Bayu Aji.”
Panji mendengarkan dengan seksama semua ucapan dan petunjuk yang diberikan oleh Reja. Tanpa ia sadari, air hangat menetes dari salah satu matanya.