Pedukuhan Karang Jati adalah sebuah pedukuhan yang memiliki wilayah yang cukup luas yang terletak di bawah kaki Bukit Jamur. Pedukuhan ini masih termasuk ke dalam kesatuan daerah Kademangan Pringgading. Penduduknya sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pada waktu pagi hari, para lelaki sudah mulai sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja. Setelah menyantap sarapan, mereka segera bergegas pergi untuk menggarap lahan mereka. Lahan sepetak dua petak yang hasilnya mereka nikmati sendiri untuk kebutuhan sehari-hari. Apabila hasil panen melimpah, barulah kelebihan hasil panen tersebut mereka pergunakan untuk membeli keperluan-keperluan lain seperti pakaian atau bahkan peralatan rumah tangga yang bisa mereka dapatkan dengan mudah di pasar kademangan.
Ketika para lelaki sibuk bekerja di sawah, para wanitanya juga tidak mau ketinggalan. Setelah membereskan sarapan, para wanita bekerja membersihkan rumah. Ada yang menyapu halaman rumahnya, ada pula yang membersihkan bagian dalam rumah mereka. Setelah semua dirasa beres dan rapi, barulah mereka bergegas pergi ke luar rumah membawa tumpukan pakaian-pakaian kotor untuk dicuci di pinggir aliran sungai Kali Pasir. Sebuah sungai yang tidak terlampau besar dan dalam tapi memiliki air yang bersih dan jernih. Sungai yang airnya selalu memberikan penghidupan bagi semua mahluk hidup di sekitarnya karena walaupun kemarau panjang mendera, sungai ini tetap mengalirkan air yang bersih jernih dan segar. Hanya kadang air sungai ini akan menjadi keruh apabila terjadi hujan lebat di daerah lereng bukit karena aliran air dari atas bukit yang datang membawa serta lumpur.
Para wanita yang sudah selesai mencuci akan segera pulang ke rumah masing-masing untuk menjemurkan pakaian di halaman belakang rumah. Lalu mereka akan mulai sibuk bekerja kembali di dapur, menyiapkan makanan buat suami mereka yang berada di sawah. Kalau bukan mereka sendiri yang mengantarkan makanan itu kepada suami mereka, maka biasanya anak merekalah yang pergi dengan hati riang membawa bekal buat ayah mereka. Ketika matahari hampir tenggelam, barulah para laki-laki itu berkemas dan beranjak pulang.
Para pemuda yang ada di dukuh ini pada siang hari ikut membantu ayah mereka bekerja di sawah. Di waktu malam, para pemuda berkumpul bercanda bersama di gardu-gardu ronda yang ada disetiap sudut pedukuhan. Para petugas ronda tidak merasa keberatan dengan adanya kumpulan pemuda-pemuda ini. Kadang mereka datang sambil membawa rebusan ubi atau jagung. Kalau sedang beruntung, wedang jahe hangat muncul memeriahkan suasana di gardu-gardu ronda tersebut.
Kehadiran para pemuda sedikit banyak juga ikut membantu para petugas ronda. Ketika tiba waktunya para petugas ronda itu harus berjalan mengelilingi pedukuhan untuk mengawasi keadaan, para pemuda dengan semangat ikut menyertai mereka. Berkeliling bersama dari satu gardu ronda ke gardu yang lain.
Ketika malam semakin larut, satu demi satu para pemuda ini kemudian undur diri pamit untuk pulang beristirahat, namun ada juga para pemuda yang malas pulang dan tidur di dalam gardu tersebut.
Begitulah kehidupan sehari-hari di pedukuhan Karang Jati. Tentram dan damai. Saling hormat-menghormati antar warga. Tolong-menolong tanpa harus dimintai terlebih dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi setiap warga. Kalaupun terjadi perselisihan yang jarang sekali muncul, dapat selalu diselesaikan dengan rasa kekeluargaan sehingga tak ada rasa dendam yang tersimpan.
Pagi itu sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Sinar matahari yang hangat mulai menerangi bumi sedikit demi sedikit. Suasana malam yang gelap dan dingin mulai berganti suasana pagi yang hangat dan lebih hidup. Burung-burung tampak berterbangan mulai ribut berkicauan menyambut datangnya pagi.
Di dalam salah satu rumah kecil di pinggir pedukuhan, seorang wanita tua duduk sambil menjahit sepotong pakaian. Rumah itu hanya terdiri dari tiga ruangan. Ruangan depan yang sekaligus sebagai ruang untuk menerima tamu, ruang tengah yang digunakan sebagai kamar tidur, dan ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur. Tangan wanita tua itu sibuk membenarkan pakaian di hadapannya. Sesekali terdengar suaranya melantunkan lagu yang berisi pujian terhadap keindahan alam dan isinya.
Tangan wanita tua itu mendadak berhenti bergerak. Telinga tuanya mendengar sebuah suara erangan. Lama dia berdiam diri seolah memastikan apakah benar dirinya mendengar suara atau hanya perasaannya saja. Ketika telinganya mendengar untuk kedua kalinya, segera dia berdiri dan meletakan pakaian beserta jarum dan benang di atas meja lalu bergegas berjalan ke ruang tengah.
Di atas tempat tidur, seorang pemuda berpakaian kuning dengan ikat pinggang kain berwarna putih terbaring lemah. Jenggot pendek dan rapi pada wajah pemuda itu menambah ketampanan wajahnya. Walaupun wajah itu sekarang tampak pucat dan lemah, akan tetapi tetap tidak dapat menyembunyikan keelokan rupa dari si pemuda.
Wanita tua tersebut bergerak menghampiri meja kecil yang ada disalah satu sudut ruangan tersebut. Dari atas meja itu, diambilnya sebuah mangkuk dari tanah liat yang berisi cairan kental berwarna kekuningan. Perlahan ia mendekati tempat tidur dan duduk di samping pemuda tersebut. Tangan kiri wanita tua itu lalu mencoba mengangkat kepala pemuda dan membantu pemuda itu untuk meminum cairan di dalam mangkuk.
“Pelan-pelan, Den...,pelan-pelan saja.”
Panji berusaha meminum cairan dalam mangkuk tersebut. Begitu cairan itu masuk ke dalam tubuhnya, rasa sejuk dan nyaman menyelimuti dadanya. Ketika di rasa cukup, wanita tua tersebut berdiri dan berjalan kembali ke arah meja kecil dan meletakan mangkuk itu di atasnya. Pandangan mata Panji yang semula kabur, berangsur-angsur membaik. Perlahan-lahan Panji menggerakan tubuh mencoba bangkit duduk. Melihat Panji yang mencoba untuk duduk, wanita tua ini segera mendekat dan membantunya.
“Dimanakah ini...?”
Suasana asing di sekelilingnya, membuat Panji bingung. Yang tersisa dari ingatannya adalah pertarungan. Pertarungan dengan orang-orang yang mencoba mengejar dan membunuhnya. Masih terbayang tangannya yang terangkat tinggi memegang tombak pendek, dan mengarahkan mata tombak itu ke kepala salah seorang orang yang menyerangnya. Lalu semuanya gelap.
“Raden sekarang berada di rumahku.”
Panji melihat ke arah wanita tua tersebut.
Seorang wanita dengan balutan pakaian sederhana. Wanita yang rambutnya sudah memutih semua. Wajah wanita ini penuh dengan guratan-guratan kerasnya hidup, namun matanya menatap penuh dengan kehangatan dan kelembutan. Tampak juga sebuah senyuman hangat menghias wajahnya.
“Maafkan kelancanganku, Nyi. Tapi siapakah Nyi sebenarnya dan mengapa aku bisa berada di dalam rumah Nyi?”
Wanita itu tersenyum.
“Orang-orang di sini biasa memanggilku dengan sebutan Nyi Ulir. Tentang mengapa Raden bisa berada di dalam rumah ini, karena Ki Wangsa yang meminta agar Raden beristirahat di sini sampai tenaga Raden pulih kembali.”
Panji bingung.
Dia tidak mengenal sesorang yang bernama Ki Wangsa. Seperti tahu apa yang ada dalam pikiran Panji, wanita tua itu berkata.
“Ki Wangsa adalah kepala dukuh Karang Jati ini, Raden.”
Panji mulai bisa membaca apa yang telah terjadi dengan dirinya. Kiranya ia jatuh pingsan dan ada orang yang membawanya ke pedukuhan ini. Panji mengangguk-anggukan kepala kemudian menoleh ke arah wanita tua itu.
“Maaf sudah banyak merepotkan dirimu, Nyi.”
“Ah ..., tak usah Raden pikirkan. Diriku hanya membantu sekuat apa yang aku bisa. Raden bisa sembuh itu semua bukan karena apa yang telah aku lakukan. Itu semua karena bantuan dari Sang Pencipta, Den.” Nyi Ulir berkata lembut.
Panji mendengarkan dan mengangguk-anggukan kepalanya. Di dalam hati dia mengucapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada Sang Pencipta sehingga sampai detik ini masih diberikan nikmat kehidupan.
Sewaktu Panji sedang terdiam, tiba-tiba Nyi Ulir bangkit berdiri.
“Apakah Raden butuh sesuatu?” Nyi Ulir berkata sambil menatap wajah Panji.
“Nyi, jangan panggil aku dengan sebutan Raden. Aku bukanlah seseorang yang berasal dari kalangan atas atau orang yang harus dihormati. Aku sama seperti orang-orang warga dukuh ini. Sama seperti Nyi Ulir sendiri. Panggil saja aku Panji. Karena memang itulah namaku. Bukan nya Raden”
“Tapi, Raden...”
“Kalau Nyi Ulir masih memanggil aku Raden, saat ini juga aku akan pamit pergi dari rumah ini.”
Seketika itu tampak kecemasan di wajah Nyi Ulir mendengar ucapan Panji.
“Tapi ...” Nyi Ulir terlihat kebingungan dan panik.
“Kalau begitu aku mohon pamit. Terimakasih atas segala bantuan Nyi Ulir.”
Panji beranjak berdiri dari tempat tidurnya. Tetapi dengan cepat tangan Nyi Ulir memegang tangan pemuda itu dan membimbing Panji untuk duduk kembali.
“Baiklah..., baiklah..., Pan..., Pan...,”
“Panji, Nyi”
“Iya..., baiklah, ...Panji. Tapi ..., tolong jangan kau pergi dari rumah ini sebelum engkau benar-benar sembuh dan kekuatanmu pulih kembali. Apa yang harus kukatakan pada Ki Wangsa seandainya ia mendengar engkau pergi dan sudah tak berada di sini lagi.”
“Katakan saja aku pergi karena Nyi Ulir tetap memanggilku Raden, bukannya Panji.”
“Ah....”
Panji tak kuasa lagi menahan tawanya. Melihat Panji tertawa, Nyi Ulir pun ikut tertawa pelan. Suasana yang semula kaku berubah menjadi hangat. Nyi Ulir kemudian duduk di samping Panji dan mulai memijat lengan pemuda tersebut. Panji yang merasa tak enak hati tak kuasa diam menurut ketika Nyi Ulir bersikeras untuk memijatnya.
Sambil tangan Nyi Ulir memijat lengan Panji, ia kemudian menceritakan semuanya.
Bahwa sebenarnya Panji dibawa ke dalam rumahnya dalam keadaan tak sadarkan diri oleh Ki Wangsa dengan dibantu oleh beberapa pemuda. Tubuhnya saat itu panas dan lemah. Mukanya pucat.Nyi Ulir langsung menyuruh para pemuda membawa Panji ke ruang tengah untuk dibaringkan di atas tempat tidur. Sebelum pamit, Ki Wangsa kemudian memberikan sekantong ramuan yang harus diminumkan kepada Panji tiga kali sehari, pagi, siang, dan malam. Masuk hari kedua, panas di dalam tubuh Panji berangsur-angsur menghilang. Namun keadaan tubuh Panji masih lemah. Baru pada hari ini, hari kelima Panji bisa duduk dan berbincang-bincang dengan Nyi Ulir.
Panji mendengar semua penuturan Nyi Ulir dengan seksama. Betapa bersyukur dirinya mendapatkan bantuan sebesar itu dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Terutama pada Nyi Ulir yang hampir sepekan bekerja keras merawat dirinya dalam usianya yang sudah tua.
“Permisi, Nyi...”
Dari arah pintu depan terdengar suara seorang laki-laki. Nyi Ulir segera bergegas beranjak ke ruang depan. Di sana telah berdiri tiga orang pemuda.
“Oh, kiranya dirimu, Kerta. Ada perlu apa pagi-pagi datang ke rumahku?”