Bintan, Februari 2011
Malam luruh sempurna. Dari balik jendela, rembulan tampak melingkar penuh. Purnama telah memenuhi siklusnya. Suara-suara dari jalan raya menyepi. Hanya terdengar kicau burung buatan dari ruko bertingkat tiga, memanggil para burung walet untuk singgah dan membuat sarangnya.
Sayang, kicau yang menjadi irama musik saban hari itu, justru membahayakan kesehatan warga sekitar. Ruko tanpa jendela itu tidak seharusnya berada di tengah kota. Apalagi di tengah hunian padat. Jejak ludah burung-burung walet saat beterbangan lalu mengering di udara, adalah bencana bagi kesehatan paru-paru. Namun entah kenapa, Lyvia menyukai kicauan palsu itu. Menjadi pengantar tidurnya yang tak pernah sempurna.
Lyvia merapatkan gorden jendela. Berharap malam ini lelap akan segera menjemputnya. Namun, kenyataan tetap saja mengkhianatinya. Dia baru saja meraih minyak aromaterapi lavender untuk dituangkan di atas ranjang, saat selintas bayang menarik pandangannya ke satu titik. Sontak, fokusnya membeku. Otot matanya menegang. Tubuhnya terpaku seakan aliran darahnya terhenti. Dan untuk sesaat, napasnya terasa sesak.
“Kau.....kenapa mengikutiku?”
Lyvia mendengar suaranya bergetar saat berbisik. Matanya menatap lurus ke depan. Namun tatapannya tak terdefinisikan. Bayang samar itu muncul lagi, persis di dinding berseberangan posisinya saat ini. Seperti sketsa lukisan yang belum selesai, tanpa pigura, bergerak pelan, seakan angin sepoi-sepoi baru saja memainkan raganya.
“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin ........ bicara.”