Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #2

Fei #2

Perairan Tambelan, awal Maret 2011

“Hey, bangun! Kita sudah mau sampai!” 

Seruan keras itu dalam seketika meluluhlantakkan mimpi Lyvia. Untung saja dia spontan menahan alas tidurnya dengan sebelah tangan. Jika tidak, dia pasti akan terguling ke lantai. Maklumlah, tidurnya sejak semalam bukanlah beralas kasur empuk, melainkan hanya sebilah bangku kayu panjang yang lebarnya pas-pasan. Bangku kayu yang selalu kau temukan di warung makanan tenda sebagai tempat duduk para pembeli. 

Di kapal ini,  bangku kayu panjang itu disusun berderet-deret, sambung-menyambung, dua bangku mengapit sebuah meja kayu yang sama panjangnya. Pengaturan yang sebenarnya diperuntukkan sebagai tempat bersantap para ABK. 

Rasanya baru kemarin Lyvia bermimpi tentang laut, dan kini ia telah ikut bersesakan di dalam kapal, bersama warga tempatan dan rombongan pemerintah daerah yang mengarungi perjalanan menuju Tambelan.

Jumlah penumpang yang berdesakan di dek, di dalam kabin bahkan di lorong-lorong, membuat Lyvia dan beberapa penumpang lain yang terlambat tiba di dermaga, akhirnya harus ‘terdampar’ di ruang makan. Sebuah kenyataan tak terhindarkan, ketika perjalanan menuju Tambelan diisi oleh rombongan pemerintah daerah yang rutin berkunjung sekali dalam setahun, maka jumlah penumpang akan membludak.

Awalnya, tidak seorang pun mengira bahwa keterlambatan itu kelak akan jadi masalah, karena mereka – para penumpang yang ‘terdampar’ itu - menganggap ruang makan yang tepat bersebelahan dapur ABK adalah tempat paling strategis.

Namun, satu hal yang tidak diketahui para penumpang yang terlambat itu, posisi ‘strategis’ itu nyatanya tepat berada di bawah AC sentral yang suhunya tidak bisa diubah-ubah. Juga tidak dapat dimatikan. Dengan ruangan seukuran enam kali delapan meter dan ditempati sembilan orang, semalaman yang mereka lalui tak ubahnya terkurung di dalam lemari es. Masing-masing melapisi tubuh dengan apapun yang ada di dalam koper :  sarung, jaket, syal hingga kaus kaki, demi melindungi diri dari siksaan hawa sejuk yang menggerogot hingga ke tulang.

Sementara itu, aktivitas dapur nyaris tidak pernah sepi. Para ABK telah memasak berpanci-panci air dan menanak berliter-liter nasi sejak pagi. Hingga tengah malam, panci-panci dan termos-termos air panas senantiasa terisi. Tidak ada jam makan yang teratur untuk para penumpang dan ABK. Belum lagi saat gelombang datang silih berganti, beriak kecil hingga besar, tubuh akan terguncang-guncang dan lambung terasa cepat sekali kosong. Saat tengah malam pun, akan selalu terlihat penumpang yang mondar-mandir menuju dapur untuk menyeduh mi instan dan kopi panas.

Lyvia baru terlelap saat fajar hampir menyingsing. Sekujur tubuhnya terasa lembab meski ia telah mengenakan jaket dan sarung. Telapak tangannya terasa sedingin es ketika menyentuh pipinya yang juga terasa lebih dingin.

Beberapa kali Lyvia menemukan pemandangan menggelikan saat matanya belum juga mau diajak berkompromi di tengah malam. Seorang ibu paruh baya tidur dengan tubuh terbujur lurus seperti mayat. Selimut menutupi sekujur tubuhnya hingga puncak kepala, dan dia nyaris tak bergerak. Dua orang perempuan tampak seperti kucing kedinginan saat meringkuk memeluk lutut di bawah meja. Seorang pria yang tidur bersisian jendela seakan tenggelam dibalik bajunya yang berlapis-lapis, dan di sudut yang lain, seorang perempuan seusia Lyvia, duduk berselimut sarung yang menutupi sebagian wajahnya sehingga tampak seperti maling.

Lyvia menarik napas. Otot matanya menegang. Dan bibirnya menekuk. Keasyikannya menikmati pemandangan unik di ruang makan ini ternyata tidak berlangsung lama. Siluet demi siluet mulai berkelebat. Melayang dari satu sudut ke sudut lain seperti kelelawar. Ruang makan ini tiba-tiba saja terasa bertambah sempit.

Lyvia memejamkan mata. Berusaha mengafirmasi diri bahwa kelebatan itu hanya melintas di dalam khayalannya. Namun, semakin keras dia berusaha, kesadarannya justru kian menguat. Mereka ada dimana pun, bahkan di tengah lautan .....

 Entah berapa menit berlalu saat Lyvia kembali membuka mata. Bukan karena usahanya telah berhasil. Namun karena aroma bumbu mi instan yang begitu tajam, terhirup oleh penciumannya.

“Makan, yuk!”

Lihat selengkapnya