Sinar matahari pagi menyinari permukaan laut. Lyvia merasa sedikit segar setelah mencuci muka. Sepertinya, secangkir kopi pekat adalah yang paling dia butuhkan pagi ini. Para “penghuni” ruang makan pun telah bangun. Sebagian memilih untuk berjalan-jalan ke dek. Merasakan kehangatan mentari setelah semalaman terkurung udara sejuk. Termasuk si kedua pemain kartu. Sebagiannya lagi, duduk di bangku yang tadi malam berfungsi sebagai tempat tidur sambil menikmati sarapan pagi : kopi, telur setengah matang, dan roti bakar.
“Mau teh atau kopi, Kak?”
Seorang ABK bertanya kepada Lyvia saat dia melangkah ke dapur dan celingukan mencari termos.
“Kopi aja. Yang pekat ada?”
“Harus dibuat dulu Kak. Yang di termos agak encer.”
“Oh nggak apa-apalah. Yang di termos aja.”
“Sebentar aja kok, kalau kakak mau nunggu.”
“Benar, mau dibuatkan?”
Sang ABK mengacungkan jempolnya. Lyvia membalas dengan anggukan dan senyum kecil. Sembari menunggu kopinya dibuat, Lyvia sejenak mengamati suasana di dapur. Dua orang pria tengah mencuci panci-panci dan wajan besar. Satu orang mengangkat telur-telur setengah matang dari dalam panci. Dan seorang lagi menyusun roti-roti bakar di atas piring datar.
Sementara itu, hanya berjarak beberapa langkah dari Lyvia, orang-orang mengantri kopi, dilanjutkan mengambil telur dan roti bakar. Fei berada di tengah antrian. Wajahnya tampak kusut. Sepertinya dia juga tidak tidur. Sepasang mata elangnya hanya melirik sekilas pada Lyvia.
Namun, meski hanya beberapa detik, lirikan itu cukup membuat jantung Lyvia memompa lebih cepat. Sesuatu terasa bergerak halus di dalam perutnya. Lyvia spontan mengalihkan pandangan ke arah pria pengangkat telur. Entah. Dia yakin tidak sedang ke-ge-er-an. Tetapi, ada sesuatu di dalam sekilas tatapan Fei.
“Ini Kak, sudah siap.”
Lyvia mengembus napas lega. Akhirnya, dia tidak perlu berlama-lama memikirkan arti lirikan Fei. Dia cepat-cepat menerima cangkir kopi dari tangan ABK dan mengucapkan terima kasih.
Saat kembali ke ruang makan, ternyata hampir semua bangku sudah penuh. Hanya ada sedikit ruang tersisa bersisian jendela. Kesanalah Lyvia menuju.
“Permisi Bang, belum ada orang kan?” tanya Lyvia pada seorang pria berkaus biru yang tengah menaburi telur dengan merica.
Pria itu mendongak. Tampak ragu untuk menjawab. Matanya melirik ke arah berlawanan. Lyvia mengikuti arah pandangannya. Arah yang berakhir pada sosok Fei. Pria yang kini telah berdiri di hadapannya bersama secangkir kopi dan sepiring roti bakar.
“Mau duduk? Duduk aja!”
Nada suara itu, dan caranya bicara, siapa pun rasanya tidak mungkin akan langsung menerima tawaran itu dengan senang hati.
“Eh, nggak apa-apa. Saya cuma mau ngopi aja.”
“Minum nggak boleh berdiri.”