Tambelan, akhir 2001
Matahari masih sama. Namun teriknya akhir-akhir ini luar biasa menyengat. Kilau yang memantul pada birunya air laut menunjukkan suhu tinggi yang dipancarkan sang surya kepadanya.
Di salah satu keramba yang sejak sepuluh bulan lalu dibuat Sahak, seekor tukik (anak penyu) merangkak pelan. Seolah-olah tak menyadari bahaya yang mengintainya hanya dalam jarak kurang dari setengah meter. Bahaya yang wujud dalam sosok seekor penyu dewasa, yang sejak beberapa minggu ini tampak malas bergerak. Penyu itu tiba-tiba merangkak cepat, menuju ke arah tukik, dalam sekejap langsung melahap dan membenamkan tukik malang itu ke dalam perutnya.
Sepasang mata bening Annisa mengamati saksama fenomena alam itu. Fenomena yang tidak mampu ia cegah saking cepatnya gerakan sang penyu dewasa saat menangkap si tukik malang. Dalam hal survival, hewan-hewan memang mampu berbuat jauh lebih pantas dari yang mampu terbayangkan oleh manusia.
Keasyikan itu meluputkan kesadaran Annisa akan kehadiran Sahak di sebelahnya. “Asyik sekali kau, Nisa. Ape yang kau tengok?”
Annisa menoleh. Sahak tampak ikut mengamati penyu-penyu di dalam keramba. Mungkin, hendak menemukan hal apa gerangan yang sedemikian menarik perhatian keponakannya.
“Penyu dewasa memangsa tukik, Pakcik. Sepertinya, kita harus memisahkan tempat mereka. Lama-lama bisa habis tukik-tukik kecil ni kalau terus hidup sekutak (sekotak) dengan penyu,” jawab Annisa. Hampir setahun pulang ke Tambelan, lidahnya telah tak canggung lagi saat harus mengucap bahasa khas kampung halamannya.
Sahak menghela nafas, raut wajahnya sontak berubah letih. “Penat saja kau berusaha, Nisa. Kelak (nanti) pun tak ade juge yang peduli.”
“Sekarang mungkin belum, Pakcik. Tapi Nisa yakin, suatu hari kelak, apa yang Nisa buat ni akan membuahkan hasil. Terutama untuk kelangsungan hidup penyu-penyu ni. Jumlah mereka dah semakin pupus, Pakcik. Tak hanya di sini, tetapi juga di berbagai belahan dunia yang pesisir pantainya selalu disinggahi penyu.”
Sahak tidak berkomentar. Sampai hari ini dia masih tidak mengerti kenapa Annisa begitu gigih. Apa untungnya melindungi penyu-penyu? Bukankah binatang berbatok keras itu tidak mampu memberi “balasan” apa-apa? Hanya berlandaskan rasa sayang dan kasihan saja, Sahak rela membuatkan keramba-keramba itu untuk Annisa. Apalagi, jika sudah berada di keramba, Annisa betah sampai berjam-jam, menjadi satu-satunya hiburan baginya, mengingat tidak ada mal, bioskop ataupun tempat bersenang-senang lainnya di pulau terpencil ini.
“Bang! Ada tamu di depan, nak (ingin) jumpe Nisa!” Suara Murni memekik lantang dari dalam rumah.
“Siape?” Sahak balas berteriak.
“Katenye dari perwakilan masyarakat. Mereka nak cakap dengan Nisa....soal penyu!”
“Lah kate aku!”
Mendadak, wajah Sahak seakan tersaput gerhana. Firasatnya langsung kurang sedap. Ini bukan kali pertama orang-orang datang ke rumahnya sejak Annisa melakukan penangkaran penyu. Apalagi kalau bukan untuk menyuruh Annisa berhenti. Namun, sampai hari ini Annisa masih bertahan. Tidak terpengaruh sedikit pun pada upaya orang-orang yang menyuruhnya menghentikan usahanya.
“Tenanglah Pakcik. Yang namanya niat baik, memang butuh perjuangan.”