Tambelan, 2011, siang yang bergerak perlahan
Hampir seperempat jam berlalu, Lyvia masih mengurung diri di kamar mandi beraroma kapur barus. Air dari bak mandi terasa begitu dingin saat dia menyiramkan ke tubuhnya berkali-kali. Kalau saja tidak ingat bahwa agenda kunjungan kerja ini teramat padat, ingin rasanya dia berlama-lama di kamar mandi.
Saat melangkah keluar, aroma masakan langsung tercium. Kamar mandi yang dua pertiga dindingnya berlapis tegel berwarna biru muda itu memang persis bersisian ruang makan. Sementara kamar tidur yang disediakan untuk para rombongan, terletak di lantai dua. Rumah Pak Rahman yang mereka inapi tergolong cukup besar, tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah di perkotaan.
Ada dua rombongan yang menginap di rumah Pak Rahman, rombongan Lyvia yang terdiri dari para pengurus PKK Kabupaten, serta rombongan seni dan budaya. Ini adalah keikutsertaan Lyvia yang perdana. Keberadaannya di sini sesungguhnya mewakili dua fungsi. Fungsi yang melekat dalam seragam pegawainya untuk melakukan pembinaan kepada para perangkat desa, sekaligus fungsi sebagai pengurus tim penggerak PKK kabupaten untuk melakukan penjurian pada lomba memasak.
“Wah, sudah cantik, sekalian dandan di kamar mandi tadi ya?” Lyvia menoleh. Ibu Devi sang sekretaris PKK telah duduk manis di ruang makan.
“Maaf, ibu juga mau ke kamar mandi?”
Lyvia bertanya sedikit malu. Ibu Devi menggeleng sambil tersenyum. “Saya sudah pakai kamar mandi yang di atas.”
Lyvia melihat sekeliling. Baru menyadari bahwa di sini ramai sekali dengan ibu-ibu PKK. Beberapa dari mereka telah mengganti baju dengan seragam baju kurung. Sebagian lagi tampak asyik mengobrol di ruang tamu.
“Kita langsung ke lokasi, bu?” tanya Lyvia kepada Ibu Devi. Wanita menjelang paroh baya yang masih nampak segar dan lincah itu menggeleng lagi. “Belum. Kita ke rumah ibu Camat dulu. Beliau sudah menyiapkan makan siang.”
Makan siang? Lyvia spontan meraba perutnya. Perut yang baru dua jam lalu terisi penuh dengan nasi minyak. Menjadi penebus sehari semalamnya di dalam kapal yang nyaris tak bisa menelan sebutir nasi pun. Tetapi.....sungguh teramat rugi menolak jamuan makan siang.
Rumah dinas pak Camat, hanya berjarak lima puluh meter dari kediaman pak Rahman. Dua buah meja panjang disusun merapat pada dinding papan, dan di atasnya, beragam hidangan laut yang masih mengepul dan menebar aroma khas telah terhidang.
Seekor ikan selar bakar berpindah ke piring Lyvia saat giliran antriannya tiba. Piring yang telah terisi nasi, sambal belacan (terasi) dan sayur asem. Sekilas, warna kuah dan isi sayur asemnya mirip dengan yang selalu Lyvia jumpai di warung lesehan ataupun restoran Sunda, namun citarasa sayur asem Tambelan ini lebih asam dan pedas.
Sesaat, Lyvia mendongak, lalu tertegun. Namun, cepat dia menunduk kembali. Berusaha menikmati manisnya daging ikan bakar berpadu rasa sayur yang asam segar.
‘Seseorang’ berdiri di sana. Menatap lekat, seakan tak sabar menunggu suapan terakhir.