Tambelan, 2001
Irwan berdiri di atas batu karang, asyik merekam aktivitas beberapa warga termasuk Annisa yang tengah melepas puluhan penyu. Kaki-kaki kecil hewan melata itu bergerak pelan, kian lama kian cepat, dan hanya dalam hitungan detik, menyatu dengan ombak laut yang petang ini beriak tenang, sebelum akhirnya satu per satu lenyap dari pandangan. Semua itu tampak begitu menyenangkan dari lensa dengan diameter terbatas. Lantas, seperti apa nikmatnya yang Annisa rasakan saat sepenuhnya mengurus hewan-hewan itu?
Dari kejauhan, Annisa melambai-lambaikan tangannya, bukan ke arah Irwan, melainkan pada penyu-penyu yang telah hanyut oleh gelombang, seakan mereka para sahabat karibnya yang hendak berlayar mengarungi lautan samudra. Barulah di detik berikutnya gadis manis itu memutar tubuhnya, membentuk corong di depan bibirnya lalu berteriak nyaring. “Hoooi bang! Turunlah dari situ! Bual (bohong) saja nak melepas penyu, tapi kerja abang memotret terus!”
Irwan tersenyum, melangkah turun dengan hati-hati dari batu karang, lalu berlari kecil menghampiri Annisa yang menyambutnya dengan merengut. “Kalau aku ikut melepas penyu, lantas, siapa yang akan merekam jejak penyu-penyu itu saat terakhir kali meninggalkan tempat persinggahannya? Sudah lupakah kau kalau dokumentasi itu amat perlu?”
Nisa mengangguk malas. “Ao’ (iya) lah. Belum tahu juga tahun depan kelak aku masih akan melepas penyu.”
“Maksudmu?” Irwan menatap mata bening di depannya lekat-lekat. Ada siratan makna seolah mengisyaratkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi lagi. Namun, Irwan mengabaikan lintasan perasaannya saat bibir mungil gadis itu mulai antusias bercerita.
“Penyu-penyu itu, nampak saja kecil badannya, tetapi makannya kuat sangat. Dua hari bisa habis 20 kilogram ikan. Manalah tahan duitnya. Tak mungkin aku berharap pada Pakcik Sahak. Hasil dia pergi melaut hanya cukup untuk makan sehari-hari. Jualan kue Makcik pun kadang habis kadang tidak. Orang sini lebih suka buat kue sendiri.”
Irwan duduk mencangkung, menumpukan kedua telapak tangannya pada lutut beralaskan gundukan pasir. Camecordernya yang masih dalam posisi on ia letakkan diatas gundukan pasir yang lebih tinggi. Aktivitas melepas penyu masih berlangsung di tepian pantai sebelah timur oleh beberapa pemuda sebaya mereka.
Sudah dua hari Irwan pulang ke Tambelan. Kampung halamannya yang nyaris tidak ia ingat lagi seperti apa rupa terakhirnya sebelum ia pergi merantau. Jika ada satu-satunya alasan untuk pulang, tak lain adalah Annisa. Irwan tak terlalu peduli seperti apa perkembangan kampungnya kini. Pun tidak ada lagi saudara dan kaum kerabat yang masih dia kenali sejak kedua orang tuanya pun hijrah meninggalkan Tambelan. Irwan justru lebih penasaran akan apa yang sudah dilakukan Annisa. Sesuatu yang waktu itu bahkan sanggup mementahkan ‘kesaktian’ selembar formulir beasiswa ke negeri Sakura.
Dan selama dua hari ini pula, Irwan mulai dapat memahami mengapa antusias Annisa bisa terpaut begitu erat pada hewan-hewan mungil nan langka itu. Semalam, Irwan memutar ulang hasil rekaman camecordernya pada aktivitas Annisa saat berada di keramba. Juga ketika gadis itu melakukan pengarahan pada beberapa warga setempat yang rata-rata masih sebayanya dan jumlahnya hanya beberapa orang itu, tentang bagaimana cara melepas penyu dan kenapa penyu-penyu itu harus dilepas.