Tambelan, 2011 – Senja berganti malam
Senja telah memekat ketika kegiatan pembinaan perangkat desa tuntas, tepat sebelum azan maghrib berkumandang. Seharusnya kegiatan itu bisa terselesaikan lebih cepat. Namun diskusi alot dan rentetan pertanyaan yang kurang efektif membuat waktu pun bergeser lebih lama. Bukan hal mudah untuk menyeragamkan pemahaman orang-orang meski semuanya telah diikat oleh aturan.
Rachmat rekan sejawat Lyvia melirik arlojinya. Dia tampak yang paling kelelahan setelah meladeni tidak kurang dari belasan pertanyaan beruntun dalam sejam terakhir. “Kau mau ikut ngopi dengan kami setelah shalat magrib?” Rachmat bertanya kepada Lyvia. Yang ditanya mengangguk. Segelas air mineral dan sepotong kue saja tidak cukup untuk membangkitkan stamina yang luruh oleh padatnya aktivitas sejak pagi.
Lyvia berusaha khusyu saat menunaikan sholat maghrib berjamaah di salah satu surau yang mereka singgahi. Hanya kepadaNya dia mencurahkan segala keluh kesahnya. Termasuk masalah yang tidak pernah dia bagikan kepada siapa pun kecuali kepada almarhum ibunya dulu. Meski telah beberapa kali dia mencoba menyingkirkan “bayang-bayang” itu, mulai dari melakukan terapi mandiri hingga meminta bantuan ustaz, tetap saja mereka selalu datang dan datang kembali.
Rembang senja kini telah berganti kelamnya langit. Begitu cepat malam jatuh menyelimuti Tambelan. Dan mereka - Lyvia dan teman-teman satu divisinya - enam orang semuanya -, kini duduk melepas penat di salah satu kopi tiam (kedai kopi).
Tidak banyak pengunjung yang singgah pada jam-jam ini. Hanya ada dua meja yang terisi. Ini memang bukan waktu yang tepat untuk menghangatkan lambung dengan kopi. Melainkan waktunya untuk mengenyangkan perut dengan hidangan makan malam.
Keenam mereka memesan kopi o (kopi panas). Diatas meja ada sekeranjang kecil berisi kerupuk atom dan kue bangkit. Tampak kurang menyelerakan dan dikemas ala kadarnya. Namun, ketiadaan pilihan dan rasa letih membuat tangan-tangan mereka tak urung berebutan juga membuka dan mengunyah isinya.
“Setelah ini, kita akan kemana?” tanya Lyvia.
“Kita akan jalan-jalan. Benar-benar berjalan kaki. Pak Burhan mengundang kita makan di rumahnya malam ini. Kau baru pertama kali ini ‘kan kemari? Sayang kalau tak merasakan udara Tambelan di malam hari.” Demikian Ian yang tubuhnya paling kurus setengah berpromosi. Dia memang yang paling sering mengikuti kegiatan kunjungan kerja ke Tambelan dibandingkan yang lain.
Raungan gas motor yang memekak telinga tiba-tiba melintas. Sang pengendaranya hanya membunyikan klakson tanpa mengurangi kecepatan apalagi berhenti untuk menyapa. Padahal, jarak antara tempat duduk mereka dan bahu jalan hanya terpaut dua meter. Dan padahal juga, kalau sang pengendara itu memutuskan untuk berhenti, bukan tidak mungkin Rachmat yang paling senior diantara mereka akan berbasa-basi mengajak ngopi. Pengendara itu tak lain adalah Fei. Seorang diri melajukan motor, entah hendak pergi kemana.
“Dasar aliens! Aneh-aneh saja kelakuannya.” Ian mendumal gusar, lalu mendekatkan bibirnya untuk menyeruput kopi hitam yang mulai berkurang kepulan asapnya. Kopi hitam yang disajikan dalam cangkir cina berbibir tebal, memang paling sedap kalau dinikmati sedikit demi sedikit. Ada sensasi yang berbeda saat menghirup kopi dari bibir cangkir mungil dengan ketebalan hampir setengah senti itu ketimbang minum dari cangkir kopi biasa. Apalagi, hangat kopi di dalam cangkir ini diyakini bertahan lebih lama. Tidak heran, para pecandu kopi bisa betah duduk berjam-jam di kopi tiam, cukup ditemani secangkir kopi hitam yang disajikan dalam cangkir cina berbibir tebal.
“Apa memang begitu tabiat Fei?” tanya Lyvia seraya meneguk kopinya. Lyvia memang belum lama bertugas di kantor yang sama dengan Fei dan rekan-rekannya yang ikut ngopi malam ini. Dia pun tidak terlalu tertarik menyimak gosip kanan-kiri. Baginya, waktu untuk bekerja terlalu singkat jika harus diselingi pembicaraan yang tak perlu. Jadi, wajar saja jika sampai hari ini dia belum mengenal betul siapa Fei selain watak luarnya saja.
“Dulu tidak begitu. Sejak beberapa tahun belakangan ini saja mulai aneh-aneh. Jangan kau tanya sudah berapa kali dia melempar kembali surat tugasnya. Entah bisikan setan mana yang sudah mendorongnya untuk memaksa ikut tahun ini,” jawab Rachmat.
“Berarti, ada yang membuat dia berubah?” Lyvia kembali menyeruput kopinya. Sama sekali di luar kebiasaannya menuruti rasa ingin tahunya tentang seseorang. Namun, sejak tegur sapa mereka di kapal kemarin, sosok Fei memang telah menebarkan magnit penasaran. Fei bukan satu-satunya pria bermulut pedas yang pernah Lyvia kenal, tetapi, dibalik keangkuhan dan sikap kurang menyenangkan itu, Lyvia sempat beberapa kali bersirobok dengan sorot mata hampa namun tetap menginginkan perhatian, memancar diam-diam dari sepasang mata tajam milik Fei.
Rachmat mengedikkan bahunya. “Aku tidak tahu. Dia selalu tertutup untuk urusan pribadi. Aku dulu sempat mengira, kalau sikapnya itu justru untuk menutupi kenyataan kalau dia seorang gay!”
“Hey, jangan sembarang menuduh, bang!” Marsha cepat memprotes. “Setahuku pria gay cenderung halus, tutur bahasanya lemah lembut, bukan sinis dan ketus seperti Fei!”
“Berarti kau pernah punya pacar gay?” Pertanyaan konyol Ian, spontan diikuti serentak tawa yang lepas ke udara.
Hanya Lyvia, satu-satunya manusia di selingkar meja kayu itu, yang gagal mengumbar tawa. Hanya urat nadinya yang mampu menangkap getar halus yang datang tiba-tiba itu. Minimnya penerangan yang membaluti suasana di kopi tiam, mendadak terasa kian remang. Keremangan yang juga hanya mampu mencapai gelombang sinyal di benak Lyvia. Membuatnya spontan berdiri.
“Kita langsung ke rumah Pak Burhan?” ucapnya tiba-tiba, seraya menarik dompet dari saku jeansnya.
“Hey, kenapa musti buru-buru?” tukas Zoel yang kopi di cangkirnya masih separuh.
“Lihat arlojimu, tuan! Sekarang sudah jam tujuh lewat.”
“Astaga. Aku hampir lupa. Pak Burhan memang mengundangkita datang sebelum Isya,” ujar Rachmat, ikut bangkit seraya menarik juga dompet kulitnya. “Simpan saja dompetmu, Via. Urusan mentraktir di kedai kopi, itu urusan lelaki!”