2011 - Pagi yang teduh di Penepat
Shubuh belum lama berakhir. Namun dari depan kantor kecamatan mulai terdengar musik dangdut. Diikuti suara yang bergema dari pengeras suara bahwa sebentar lagi akan digelar senam pagi bersama. Semua rombongan pejabat juga masyarakat sekitar dihimbau untuk ikut serta meramaikan acara senam pagi .
Sejak usai shubuh, Lyvia sudah mandi dan berpakaian rapi, juga berdandan tipis. Sejenak, dia mematut pada cermin bedaknya. Lyvia nyaris tidak pernah berkaca pada cermin di meja rias, cermin lemari, atau cermin di kamar mandi. Sejak berbagai bayang-bayang itu selalu mendatanginya, cermin menjadi musuh terbesarnya.
Wajah ovalnya hanya dilapisi pelembap, sunscreen dan bedak padat. Lipstick warna nude pink memoles bibir tipisnya. Alisnya yang tebal hanya ia rapikan sekadarnya. Namun, kesederhanaan itu justru menguarkan pesona tersendiri yang terkadang tidak disadarinya.
Pagi ini, Lyvia sama sekali tidak berminat ikut senam. Sebagian besar ibu PKK pun memilih untuk mengemas barang lalu berjalan-jalan mencari oleh-oleh. Kapal diperkirakan akan bertolak sekitar pukul delapan pagi. Tidak heran jika sepagi ini, di depan kantor kecamatan telah menjelma pasar kaget. Orang-orang ramai berjualan makanan di sepanjang tepi jalan. Mulai dari jeruk Kalimantan, kue bolu kering hingga ikan asin. Keramaian setelah shubuh ini, tidak bakal dijumpai pada hari biasa.
Lyvia duduk di bangku kayu bersama Rina dan Dian. Dua dari rombongan PKK yang usianya tidak terpaut jauh darinya. Sejak semalam Lyvia sudah menyampaikan rencananya untuk menengok pantai Penepat. Berdasarkan informasi yang ia dapat dari Pak Burhan tadi malam, pantai itu sangat cantik dan panorama di sekitarnya pun menyimpan keindahan yang unik. Keindahan yang konon berbeda dengan pantai-pantai di Bintan. Dan kelihatannya, hanya dua orang itu yang tampak antusias dibandingkan yang lain.
“Kita kesana naik apa?” tanya Rina. Matanya jelalatan mengamati satu dua kendaraan yang lalu lalang. Berharap ada yang mereka kenal untuk ditumpangi.
“Kalau hanya menunggu, nggak bakal dapat. Kalian tunggu di sini dulu. Aku mau tanya-tanya. Siapa tahu diantara adik-adik itu ada yang mau mengantar kita,” ujar Dian seraya menunjuk ke arah beberapa gadis remaja yang duduk di atas motor tak jauh dari halaman kantor kecamatan.
Sepertinya Dian cukup pintar berdiplomasi. Hanya dalam waktu beberapa menit, dua orang dari gadis remaja itu telah membelokkan motornya ke arah mereka.
“Kakak bertige ni, pagi-pagi ni nak ke Penepat?” tanya gadis berkerudung cokelat, seakan kurang yakin. Lyvia mengangguk mantap. “Iya dek. Sebentar lagi kapal kami bertolak. Kalau tidak sekarang, nanti tak sempat. Bukan senang nak sampai kemari. Jauh tidak dari sini?”
Gadis itu mengangguk. “Lumayan kak. Tapi kalau membonceng kakak berdua, saye masih sangguplah. Biar kawan saya membonceng kakak yang ini,” ujar gadis itu sambil melirik Rina yang tubuhnya paling bongsor. Yang dilirik sempat manyun sebentar sebelum akhirnya setuju.
“Siip! Nanti uang bensin kami ganti,” tukas Dian, yang langsung mengambil posisi duduk di tengah.
“Tak usah gantilah, kak. Dekat saje,” jawab gadis itu.
“Hey, kalian mau kemana?” Bu Sri yang baru saja tiba di tempat yang semula mereka duduki, melambai-lambai, saat motor mulai menjauh.
“Ke Penepat!” Pekik Lyvia.
“Nanti jemput aku ya! Aku mau ke sana juga!”
Saat motor melaju, barulah Lyvia menyadari kalau dia, Dian dan gadis itu lumayan nekad. Bayangkan saja, satu motor dibonceng tiga! Untung saja, tubuh ketiganya sama kurusnya. Bahkan gadis remaja yang membonceng mereka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, Lyvia merasakan sensasi luar biasa. Pemandangan kiri kanan yang tersalip cepat berpadu tatapan heran orang-orang, membuat senyumnya terukir lebar. Terlebih-lebih, saat motor mereka menyalip para pejabat daerah bersama rombongan kecilnya yang tengah berjalan kaki hendak meninjau sekolah dasar. Wajah orang-orang penting itu yang melongo sesaat lalu geleng-geleng kepala, meledakkan tawa mereka berdua ketika motor telah menjauh.
“Maaf, kak. Kite berhenti di sini. Tanjakannya tinggi sangat. Saye jemput kawan kakak yang tadi tu. Nanti saye susul,” ucap gadis itu seraya mematikan mesin motor. Lyvia dan Dian melompat turun. Lalu menaiki tanjakan dengan berjalan kaki. Ternyata, tanjakan itu tidak hanya tinggi menjulang, tetapi juga lumayan jauh. Napas mereka berdua terengah-engah saat akhirnya tiba di jalan mendatar.
“Kita istirahat dulu yuk,” ujar Dian dengan nafas yang masih megap. Tanpa banyak bicara, mereka berdua mengempaskan tubuh di pinggir jalan setapak. Seorang pria tampak berjalan kaki seorang diri dari arah berlawanan. Lyvia bangkit dari duduknya, menyapa pria itu. “Maaf, pak. Numpang tanya. Kalau boleh tahu, masih jauhkah pantai Penepat?”