Kali ini Lyvia tidak lagi menuju ruang makan dekat dapur ABK. Dia sengaja memisahkan diri, bergabung di dek bersama puluhan warga Tambelan yang hendak menuju Bintan. Ia tak sanggup membayangkan harus tidur lagi di dalam ‘kulkas’ raksasa dengan kondisi hati, raga dan pikiran yang benar-benar lelah, juga shock oleh hantaman misteri tak terduga. Telah belasan tahun inderanya mampu menjangkau dunia yang tak terjamah oleh mata kasat, namun ini adalah kali pertama, dirinya mengalami “penyatuan” dengan alam yang tak pernah ia masuki. Raga yang tak pernah ia kenal. Alam dengan manusia-manusia yang berputar pada fase masa lalu.
Lyvia langsung duduk berselonjor, menyandarkan diri pada salah satu tiang di dek depan. Di sekelilingnya tampak beberapa rombongan mulai menggelar tikar, mengatur posisi tas dan barang bawaan bahkan ada yang langsung membuka bekal makanan.
Dia menarik nafas dalam-dalam, berkali-kali, memenuhkan rongga kosong dalam dadanya hingga detak jantungnya yang semula beritme kencang berangsur normal. Seorang ibu separuh baya yang ikut berselonjor di sebelahnya menegur Lyvia. “Adek ni yang hari tu jadi juri di acara lomba masak ye? Tak sangke ye, masih mude dah pintar masak.”
Lyvia sedikit tersipu oleh pujian polos itu. Untuk sejenak, kepolosan sang ibu mampu mengusir gundah dan beribu pertanyaan yang belum beranjak dari dalam benaknya. “Saya sebenarnya tak pintar memasak, bu. Kemarin itu, tugas saya saya hanya menilai penampilan dari hidangan. Oh ya. Kenalkan, bu. Nama saya Lyvia.” Lyvia mengulurkan tangan, yang disambut sang ibu dengan hangat. “Saya Aisyah, dek. Adek ni ramah juge ternyate. Dari raut wajah saja tampaknye pendiam.”
Selanjutnya, pembicaraan antara Lyvia dan Bu Aisyah mengalir lancar. Meski yang mereka bicarakan hanya seputar suasana menjelang keberangkatan. Selalu ada yang berbeda pada setiap momen meninggalkan Tambelan. Demikian menurut Bu Aisyah yang setiap beberapa bulan sekali pasti bertolak menuju Bintan.
Para ABK telah melepas jangkar. Kapal bergerak pelan. Suasana di dek mulai riuh oleh suara obrolan yang mendengung di sana-sini.
“Bu Aisyah, apakah ibu pernah mengenal seseorang bernama Annisa, pernah tinggal di Tambelan?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Lyvia. Reflek dan spontan. Rasa penasarannya tak dapat ia bendung lagi.
“Maksud adek, Annisa yang kemenakan Sahak?”
“I..iya,” Lyvia menjawab gugup. Tak pernah ia kenal siapa Sahak. Satu-satunya harapannya hanya ada dan hanya pernah ada satu Annisa di Tambelan.