Lyvia telah berada di tengah arus penumpang yang menuruni tangga dari sayap kanan. Namun batang hidung Bu Aisyah pun sudah tak tampak lagi. Lyvia mendengus kesal. Sempat terlintas ide konyol di benaknya mencegat warga Tambelan yang lain untuk bertanya tentang Annisa. Namun, kewarasannya cepat melarang. Bagaimana mungkin dia bisa melakukannya di bawah tatapan heran atau hanya direspon dengan bibir yang bungkam ataupun gelengan kepala? Setiap penumpang pasti sudah sangat lelah, dan ingin segera melabuhkan raga yang penat di tempat ternyaman : rumah. Jadi, kalaupun ada yang mengetahui tentang Annisa, kecil kemungkinan untuk meluangkan waktu berpanjang lebar menceritakan kepadanya.
Lyvia segera mencari kerumunan rombongannya. Ia yakin bahwa sebagian besar mereka tengah sibuk mencari barang bawaan masing-masing. Benar saja. Ada tumpukan barang di dermaga berdekatan buritan kapal. Rekan-rekannya tampak berkerumun di sana. Lyvia segera bergabung. Ikut mencari tas besarnya yang berwarna mencolok. Tidak terlalu sulit menemukan tas berwarna oranye itu di antara tas-tas lain.
“Kita memang terbiasa munafik! Mengaku-ngaku saja kalau telur penyu akan dilindungi, nyatanya benda itu juga yang menjadi oleh-oleh paling banyak!”
Lyvia terkesiap, dan hawa panas mulai merambati wajahnya. Ia tidak membawa sebutir pun telur penyu sebagai oleh-oleh, dan seharusnya ia tak perlu merasa tersinggung. Masalahnya, suara itu milik Fei!
“Memangnya kenapa? ‘Kan bukan kita yang minta, tapi penduduk setempat yang dengan ikhlas hati membekali kita berkardus-kardus telur penyu.”
Lyvia mendengar jawaban Ian atas ucapan lantang Fei.
“Itu karena mereka tahu persis kita siapa. Sekarang kalau kamu ke sana lagi, tanpa menjadi bagian dari rombongan orang-orang terhormat itu, kamu pikir mereka tetap akan memberimu oleh-oleh sebanyak ini?” Fei menjawab kian lantang.
“Sudahlah, soal telur saja diributkan.”
Terdengar suara Marsha menyela. Kerumunan itu pun perlahan merenggang. Masing-masing telah menemukan barang bawaannya. Juga mengambil jatah oleh-oleh yang telah dipak dalam kardus-kardus bekas mi instan.
Fei tengah membetulkan posisi ransel di bahunya dan bersiap untuk pergi. Sosok pria itu sontak mengembalikan lagi ingatan Lyvia pada peristiwa tragis itu.
“Fei, tunggu.....”
Pria itu hanya menoleh sekilas. Tatapannya sinis. Entah karena merasa terganggu, atau masih kesal. Namun, dengusan keras Fei kemudian, untuk sesaat membangkitkan rasa sesal Lyvia. Semestinya ia menahan rasa penasarannya akibat gagal bertemu lagi dengan Bu Aisyah. Kalau pun saat ini ia nekad bertanya kepada Fei, mungkinkah pria itu akan menjawab?
“Ada apa? Tasmu terlalu berat hingga mencari orang untuk membantu? Maaf, bawaanku jauh lebih berat!”
Fei melengos, bergegas meninggalkan Lyvia. Entah mendapat kekuatan dari mana, Lyvia menyusul langkah cepat Fei, berusaha menjejerinya. ”Bukan itu maksudku. Tapi, aku mau bicara.....”
“Bicara apa? Kau tidak suka aku menyindir mereka tentang telur penyu?” Fei tak menghentikan langkahnya. Sepasang mata elangnya tertuju lurus ke depan.
“Bukan. Lebih penting dari itu. Dan tidak di sini.”
Kali ini ucapan Lyvia yang tegas sukses menghentikan langkah Fei. Pria itu mengerling. Tatapannya setajam pisau. Ekspresinya tak jauh berbeda, sedingin bongkahan es batu.
“Apa sih mau kamu sebenarnya?” Fei mendesis. Lyvia mencoba bergeming, meski tatapannya gagal. Alih-alih membalas tatapan tajam Fei, seperti yang sebelumnya ia lakukan saat beradu mulut di atas kapal, Lyvia justru tertunduk, bertemu arah pandangannya dengan sendal gunung Fei. Ia tak tahu bagaimana mendefinisikan perasaannya saat ini. Baru beberapa detik lalu ia seakan memperoleh ekstra keberanian, namun satu tatapan Fei disertai langkah pria itu yang mendekatinya hingga jarak mereka hanya terpisah beberapa senti saja, ternyata mampu mereduksi keberaniannya hingga tinggal separuhnya.