Keraguan itu sesaat menyergapnya, saat langkahnya akhirnya tiba di depan rumah Fei. Lewat tengah hari begini, suasana di sekelilingnya tampak sepi. Tentu saja, karena ini memang masih hari kerja. Lyvia sengaja menggunakan waktu makan siang untuk datang menemui Fei.
Suasana rumah Fei, nyaris tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan berarti. Pintu dan jendela yang mengarah ke jalan, dalam kondisi tertutup. Sepetak rumput di halaman mulai memanjang, namun tak ada sampah dedaunan berserakan meski tepat di sisi kiri halaman sempit itu tegak sebatang pohon mangga golek.
Apakah Fei tinggal sendirian? Dugaan itu kian menambah keraguannya. Pengetahuannya tentang kehidupan pribadi Fei nyaris nol. Bagaimana kalau ternyata pria misterius itu berniat buruk padanya dengan meminta, atau lebih tepatnya, menyuruhnya datang kemari? Tetapi, dengan rumah yang diapit begitu rapat oleh rumah-rumah di kiri dan kanan, apa mungkin Fei berani berbuat yang tidak baik?
Pegangan pintu depan tiba-tiba bergerak pelan, diikuti daun pintu yang terbuka. Seorang gadis muda, mungkin sekitar lima tahun lebih muda darinya, memandang lurus ke arah Lyvia yang masih berdiri di depan pagar. Lyvia mengangguk seraya tersenyum. Separuh keraguannya terangkat. Fei ternyata tidak tinggal sendirian.
“Kakak yang bernama Lyvia?” Gadis itu bertanya. Lyvia mengangguk lagi. “Abang sedang keluar sebentar, mari masuk dulu kak,” ujar gadis itu seraya membukakan pintu pagar.
“Adiknya Fei ya?” Lyvia mencoba menebak. Diam-diam mengamati sekilas garis kesamaan di wajah gadis itu dengan Fei. Gadis itu mengangguk.
“Mari kak. Duduk dulu ya, saya telpon abang dulu kalau kakak sudah sampai.”
Lyvia lalu duduk di sofa sederhana yang ditunjukkan gadis itu. Sebagaimana perumahan tipe 45 pada umumnya, ruang tamu ini sebenarnya tidak terlalu besar, namun penataannya yang minimalis dan pilihan perabotannya yang praktis membuat kapasitasnya terasa cukup lapang.
Seraya menunggu, Lyvia mencari-cari sesuatu untuk mengisi waktunya. Ada tumpukan koran-koran lama, juga album-album foto yang tersusun rapi. Lyvia meraih satu album foto yang terletak paling atas, dan mulai membuka. Panorama pantai dan laut, adalah yang paling banyak mendominasi isi album itu. Lyvia yakin, semua ini hasil jepretan Fei. Banyak teman kantor memuji hasil kerja Fei. Dan kali ini pun, Lyvia harus mengakui bahwa foto-foto yang diabadikan Fei, kualitasnya tak kalah dengan foto-foto yang terpampang di media-media nasional bahkan internasional.
Sesaat, dahi Lyvia berkedut. Rasanya, foto-foto yang tengah ia saksikan sekarang sama sekali tidak asing. Lyvia yakin, kalau ia pernah melihat pantai itu. Ia mencoba mengingat-ingat, termasuk mengembalikan ingatannya pada Tambelan.
Terdapat juga beberapa gambar Fei di sana. Di pantai itu. Ada yang sendirian, ada pula yang berdua dengan seorang gadis berparas manis. Foto mereka tampak mesra. Bergandengan tangan, duduk berdampingan di gundukan pasir. Lyvia merendahkan kepalanya, menajamkan penglihatannya, ingin melihat jelas wajah gadis itu.
Ya Tuhan! Album di tangan Via seketika terlepas. Meluncur jatuh ke lantai. Wajah gadis itu yang tertangkap oleh netranya langsung membangkitkan gemetar yang hebat, bahkan bulu kuduknya serentak meremang. Ia tak mungkin salah lihat.
“Ternyata kamu tak hanya usil, tapi juga keras kepala!”
Lyvia tersentak. Fei ternyata telah ada di ruang tamu tanpa ia menyadari kapan pria itu datang. Fei menyandarkan sebelah tangannya pada partisi, sementara sebelah tangannya lagi berkacak pinggang.
“Sudah kubilang kalau mau datang itu sebaiknya sore atau malam hari saja. Bukan sekarang! Aku belum mandi, tahu!”
“Kapan kamu pernah bilang begitu?” balas Lyvia.
Tersulut oleh sikap Fei yang sama sekali tak bersahabat meski sorot matanya tampak letih, Lyvia berdiri. Album yang memuat foto “mengejutkan” itu ia letakkan di atas meja dalam posisi terbuka.
“Aku hanya sebentar kok. Aku juga nggak sudi berlama-lama melihat orang yang belum mandi! Tolong, kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku. Dan kumohon, jangan bertanya apa pun.”
Fei mendengus sinis. “Baik! Cepat katakan. Aku bisa pingsan kegerahan kalau kamu lama-lama di sini.”
Lyvia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Juga menahan kedua bola matanya dari melotot. Baru kali ini, ia “disambut” tuan rumah dengan cara yang sama sekali tidak sopan. Padahal, bukankah Fei sendiri yang menginginkan untuk ditemui di rumahnya? Dasar sarap!
“Sekarang tolong ceritakan padaku tentang......Annisa.” Lyvia menurunkan volume suaranya. Di luar dugaannya, wajah Fei spontan mengeruh, lalu perlahan memucat. Tangannya yang semula bersandar di partisi ia turunkan. Ekspresinya tampak tegang. “Untuk apa? Darimana kau kenal Annisa?”