Lyvia menaiki tangga sedikit ragu. Ini baru kali pertama ia masuk ke kafe ini. Airways Cafe. Sesuai namanya, interior kafe ini memang menyerupai suasana di dalam kabin pesawat. Model kursinya, jendela-jendela kaca kafe yang jumlahnya mencapai belasan dan sangat mirip bentuk jendela pesawat, lukisan-lukisan bergambar pesawat yang tengah melintasi awan juga gambar suasana di dalam pesawat, bahkan semua pelayannya mengenakan seragam ala pramugari dan pilot.
Lyvia melirik arlojinya. Ia sengaja datang sedikit terlambat dari janjinya dengan Fei. Namun, saat matanya mengamati sekeliling, batang hidung Fei belum lagi kelihatan. Lyvia mengeluarkan ponselnya.
“Halo, udah sampai belum?” Lyvia langsung bertanya tanpa basa-basi begitu terdengar suara Fei yang mengucap ‘halo’ di seberang.
“Belum. Mendadak boss telpon. Ada foto harus diedit dan dikirim sekarang juga. Kamu udah sampai? Nggak pa-pa, pesen aja dulu. Aku nggak bakal lama kok. Bye.”
Fei lebih dulu menutup pembicaraan dan mematikan ponselnya sebelum Lyvia sempat mengucap sepatah kata. Lyvia lalu melangkah menuju kursi yang terletak paling pojok, bersisian dengan jendela.
“Mau pesan apa, mbak?” Seorang pelayan menghampirinya. Lyvia sejenak membaca daftar menu lalu menjawab singkat, “Ginger Tea. Less sugar.”
“Ok. Yang lainnya mbak?”
“Itu aja. Saya lagi menunggu...teman.”
Pelayan itu segera berlalu setelah menghadiahkan Lyvia senyum ramah. Tidak ubahnya gestur andalan para pramugari saat melayani penumpang di pesawat.
Lyvia menarik napas dalam-dalam, memalingkan wajah ke arah jendela saat bayang-bayang itu kembali melintas. Ia sedang tak berselera untuk berkomunikasi, bahkan untuk sekadar melihat dan menatap. Setelah beberapa hari menghilang, sungguh ia berharap bayang-bayang Annisa tak akan lagi mengganggunya. Namun seperti yang sudah-sudah, harapannya kembali mengingkarinya.
Dulu, saat ia masih kecil, ia merasa tak ada yang salah dengan dirinya, bahkan merasa dunia lebih indah dengan kehadiran “mereka” yang selalu menjadi sahabat-sahabatnya. Tetapi, seiring pemikiran dan perasaannya yang bertumbuh dewasa, Lyvia mulai menyadari siapa sesungguhnya sahabat-sahabatnya itu. Terlebih, saat kehadiran mereka tidak selalu dalam wujud yang bersahabat, tak jarang mengerikan, membuatnya bergidik, bahkan menghentikan detak napasnya selama beberapa detik.
Kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanannya sejenak mendistorsi suasana hatinya. Belum ada tanda-tanda kedatangan Fei meski matanya sejak tadi terus menatap keluar.
Apa sebenarnya yang diinginkan Fei? Rasa penasaran itu kembali muncul. Sampai detik ini ia belum menerima panggilan, atau diminta melakukan konfirmasi apa pun terkait insiden benturan waktu itu. Lyvia tidak tahu bagaimana cara Fei meyakinkan atasannya hingga meski telah seminggu berlalu, situasinya masih aman terkendali. Juga tak ada kasak-kusuk yang menyebar di lingkungan kantor tentang insiden itu.
Mungkinkah sosok aliens Fei cukup untuk membungkam semua itu? Bukankah selama ini, sepanjang pengetahuan Lyvia, sebagian besar pegawai di kantor tidak ada yang dekat dengan Fei selain hanya sebatas hubungan pekerjaan?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih berseliweran dalam benak Lyvia saat ekor matanya menangkap sosok Fei yang berdiri sejenak di ujung anak tangga, tampak celingukan sesaat lalu berjalan cepat menuju ke arahnya.
Fei langsung menarik kursi seraya mengelap sisa keringat yang masih menempel di dahinya. Satu sapaan singkat meluncur dari bibirnya, “Hai.”
Dari gerak-geriknya juga raut wajahnya, terlihat kalau Fei memang baru saja menyelesaikan aktivitas yang mengisap sebagian besar energinya.
Fei melambaikan tangan, memesan segelas black coffee pada pelayan. Lyvia diam-diam mengamati semua yang dilakukan Fei. Baru kali ini, ia dapat berhadapan dengan Fei dalam suasana yang lebih privasi. Apa yang terlihat di depannya kini, semua tampak begitu natural. Dengan Fei yang tampak masih belum lepas dari apapun itu yang ia kerjakan sebelumnya. Pria itu menyeka sisa keringat, seraya menekan-nekan keypad ponselnya, lalu mengecek sesuatu dalam ranselnya sebelum akhirnya baru menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi lekat mengamatinya.
“Jangan menatapku seperti itu. Aku memang sedang sibuk. Tetapi aku bukan tipe yang nggak enakan di depan orang.”
Lyvia tersenyum. Lantas, apa makna kalimat barusan kalau memang ia tidak peduli? Beberapa minggu lalu, ia masih diterpa rasa kaget dan terenyak setiap kali Fei melontarkan kalimat pedasnya. Namun hari ini, entah oleh pengaruh suasana di sekelilingnya, entah juga karena ia mulai terbiasa dengan karakter Fei, mengetahui sekilas masa lalu Fei melalui keanehannya yang sulit dicerna nalar, ucapan itu tak lagi meninggalkan efek apa pun.
“Sebenarnya kamu baik. Tapi kamu hanya berpura-pura untuk tidak terlihat baik,” komentar itu meluncur begitu saja. Lyvia sendiri cukup terkejut saat bibirnya tak lagi menyortir apa yang sedang ia pikirkan.
“Oh ya? Terima kasih untuk dugaanmu. Sayangnya itu keliru. Aku nggak mau lama-lama berbasa-basi. Kerjaanku masih menumpuk. Sekarang aku tagih utangmu.” Tatapan Fei setajam sorot mata elang saat hendak menyambar ikan kecil di permukaan laut, sedikit pun tak menyiratkan empati. Untung, Lyvia juga telah belajar untuk memahami dan cepat mengantisipasi situasi semacam ini. Tatapan Fei yang seakan mampu mengoyak pertahanan seorang buronan dari terus menerus menyimpan rahasia kejahatan itu, kali ini tidak membuatnya merasa grogi dan takut.
“Utang apa yang harus kupenuhi?” Balas Lyvia tenang. Menghirup tehnya perlahan-lahan. Hawa hangat jahe dalam sekejap menyebar, seolah mengalirkan kekuatan tambahan saat menentang sorot tajam mata Fei.