Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #17

Pelantikan #17

“Sudah sehat, Via?”

Ian menyapa gadis itu yang berjalan lambat menuju mejanya. Yang disapa hanya mengangguk. Semalam, Lyvia tidak masuk. Dia pusing berat dan dunia serasa berputar-putar setiap kali melangkah. Saat check-up di klinik, tensinya ternyata turun drastis.

Kelelahan. Juga kurang asupan. Demikian hasil diagnosa dokter. Lyvia hanya dibekali suplemen, disuruh banyak istirahat dan makan yang ‘enak-enak’. Hanya sehari anjuran itu dipatuhi Lyvia. Baginya, ketiadaan aktivitas yang berarti hanya membuat jangkauan pandangannya menjadi lebih luas.

Annisa masih beberapa kali ‘mendatanginya’. Tidak lagi dalam mimpi. Melainkan hanya dalam sekelebat bayang. Tanpa bicara. Juga tanpa berlama-lama. Apa lagi yang hendak dia sampaikan? Entahlah. Mustahil rasanya jika dia harus mencari siapa orang-orang yang sudah membuat Annisa tewas, hanya untuk mengusir bayang-bayang gadis itu. Satu-satunya cara, adalah dengan kembali rukyah. Tetapi, dia sedang tidak sehat. Dan proses itu hanya bisa dilakukan saat dia cukup sehat lahir batin.

“Kemarin, Fei mencarimu.”

Apa?

Lyvia melongok dari balik kubikel. Ian tengah menatap layar komputernya. Tetapi, Lyvia yakin kalau barusan, Ian bicara dengannya. Belum ada orang lain di ruangan itu selain mereka berdua dan seorang cleaning service yang tengah mengepel. Ian dan Lyvia, memang selalu datang paling pagi.

“Trus, dia bilang apa?”

“Nggak bilang apa-apa. Katanya nggak terlalu penting. Dia ada nelpon kamu?”

“Enggak.”

“Berarti memang tidak penting,” gumam Ian.

Dasar cowok aneh. Batin Lyvia. Sejak pertemuan mereka di Airways Cafe, dia memang belum bertemu lagi dengan Fei. Lalu, atas urusan apa Fei mencarinya? Bukankah Fei bisa menelpon atau mengirim pesan?

“Sudah tahu, kabar tentang mutasi dan pelantikan?”

Pertanyaan Ian membuyarkan pikiran Lyvia yang masih tertuju kepada Fei.

“Infonya, kali ini lumayan banyak yang digeser. Maklum, jelang tahun politik.”

“Oh ya?” Lyvia hanya merespon singkat. Isu pergeseran pejabat tidak pernah menarik minatnya.

“Kamu nggak khawatir apa? Kalau ternyata ikut juga dalam gerbong mutasi?”

“Enggak sih. Biasa aja. Udah resiko pekerjaan ‘kan?”

“Meski ke tempat buangan sekalipun?”

“Misalnya?” Pertanyaan balik Lyvia membuat dahi Ian berkerut.

“Ya...tempat buangan.” Ian sedikit bingung. “Yang suasananya nggak nyaman, yang tempatnya jauh, yang nggak banyak peluang untuk cari tambahan, semacam itulah.”

“Oh, begitu.” Lyvia menjawab datar. “Gimana ya? Kalau dibilang nggak khawatir sama sekali, enggak juga. Tetapi khawatir yang berlebihan, ya enggak juga.”

“Enak ya jadi kamu. Nggak pernah pusing sama isu mutasi. Udah sarapan?” tanya Ian.

“Belum.”

“Sarapan yuk, di kantin mbak Susi.”

“Oke.”

Keduanya lalu menuju kantin, yang sepagi ini juga masih sepi. Hanya satu meja yang diisi oleh para supir. Dan meja paling ujung dengan beberapa anggota satpol.

“Makan apa Bang? Kak?” Seorang gadis muda datang dengan buku kecil dan pena di tangannya.

“Saya kopi. Sama gado-gado. Kamu Vi?”

“Teh hangat, sama roti bakar.”

“Oke. Sebentar ya.”

Pesanan mereka tiba sepuluh menit kemudian. Lyvia baru saja menghirup tehnya saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan berbaris di layar : Kepada nama-nama di bawah ini, agar setelah ishoma sudah berkumpul di aula.

Lyvia membaca cepat nama-nama yang tertera. Dan, jantungnya berdegup lebih keras saat namanya berada di urutan terbawah. Siang ini? Kenapa mendadak sekali?

“Ada apa?” tanya Ian.

“Pelantikan. Nanti siang,” jawab Lyvia pendek.

“Kamu juga?”

Lyvia mengangguk. Ian meraih ponselnya. Menelpon entah siapa. Mengonfirmasi kebenaran akan pelantikan siang ini. Sementara cowok itu menelpon, Lyvia mengunyah roti bakarnya tanpa selera. Bohong saja kalau dia tetap bisa tenang, seperti kata Ian. Bagaimanapun, rasa penasaran kini membubung dalam benaknya : pindah kemana dia?

“Selamat ya, Via.”

Sepasang mata Lyvia menyipit. “Selamat, untuk apa?”

“Kamu promosi ‘kan?” Ian menatapnya dengan mata berbinar.

“Entah. Tapi, yang nelpon nyuruh bawa jas.”

“Ya ampun. Itu ‘kan promosi, dudul!” Ian menatapnya separuh gemas.

“Udah bawa baju?”

Lyvia menggeleng. “Setelah ini, aku langsung pulang.”

“Tapi, kamu nggak apa-apa? Masih pucat begitu.”

“Nggak apa-apa kok. Tadi datang kesini juga sendiri.”

Lyvia segera menghabiskan roti bakarnya. Lalu minum teh dengan sedikit tergesa. Jam di ponselnya memang baru pukul sembilan. Tetapi, dia butuh dua jam untuk menyetir pulang dan pergi, menyetrika baju, berpakaian dan berdandan. Ada rasa sedikit menyesal. Harusnya dia memang menyiapkan baju di mobil. Dimutasi atau tidak, itu urusan belakangan.

 

******************

 

Prosesi pelantikan terasa berjalan lambat dan menggerahkan. Tidak kurang dari seratus orang dimutasi dan dilantik. Sementara jumlah AC di aula, jauh dari mencukupi. Bulir keringat membasahi kening Lyvia. Merembes hingga ke punggung. Sudah lima belas menit dia berdiri. Dan kakinya yang tidak terbiasa mengenakan sepatu high heels, mulai terasa pegal.

Kenapa kalian juga ada di sini?

Lyvia menunduk. Suasana di sekelilingnya terasa bertambah ramai. Dalam ‘pandangan’nya, aula ini seakan dipadati dua ratusan ‘orang’.

Apa urusan kalian ada di sini?

Lihat selengkapnya