Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #18

Permintaan #18

Tulisan pada spanduk itu membuat bibir Lyvia separuh terbuka. Dan kedua kakinya bergeming di atas paving blok. Rasanya, baru beberapa minggu lalu dia dan Fei mengunjungi cafe ini. Tetapi sekarang, persis di depan matanya, kalimat itu jelas terpampang di spanduk putih itu dalam font besar-besar : Sejak tanggal 5 November, Airways Cafe Ditutup. Dan Ruko ini Dijual. Bagi yang berminat harap hubungi Nomor 0813xxxxx.

“Tutup?”

Lyvia menoleh. Entah kapan, Fei sudah berdiri di sisinya. Tangannya masih memegang helm. Sepertinya dia baru saja memarkir motornya. Dan seperti juga Lyvia, bibirnya membentuk lingkaran yang tak sempurna seiring matanya yang masih menatap spanduk.

“Nggak ada angin, nggak ada hujan, kok tiba-tiba tutup?”

“Dua hari lalu masih ada yang ngerayain ultah lo di sini.”

“Apa bangkrut ya?”

“Sayang ya, padahal mi gorengnya enak banget.”

Berbagai komentar mulai meriung. Tahu-tahu saja, ramai orang sudah berada di sekeliling mereka. Dari ucapan-ucapan yang spontan mengalir, sepertinya mereka pun senasib dengannya. Tidak tahu kalau cafe di lantai tiga ini sudah tutup.

“Sekarang, kita kemana?” tanya Lyvia pada Fei. Kemarin malam, pria itu mengirimnya pesan, mengajaknya bertemu sebelum dirinya berangkat ke Tambelan. Entah apa lagi yang hendak ia bicarakan. Sejak mengenalnya hingga hari ini, keanehan Fei belum jauh meluntur.

“Ke Sam Anna aja?” Fei menyebut resto yang berada persis di samping swalayan. Jaraknya hanya kira-kira dua kilometer dari Airways Cafe. Lyvia mengangguk. Meski itu bukan resto favoritnya, setidaknya di sana terdapat cukup banyak pilihan menu.

Dia segera melangkah menuju tepi jalan. Celingukan sesaat. Namun, sentuhan pelan di bahunya membuatnya menoleh. Lagi-lagi Fei.

“Kamu lagi ngapain?”

“Nyari ojek. Motorku lagi dipinjem. Dan aku belum ngisi bensin mobil.”

“Sama aku aja.”

Dahi Lyvia spontan membentuk kedutan. “Maksudnya?”

“Iya. Boncengan sama aku.” Fei memberinya tatapan heran. Seakan permintaannya barusan sama mengejutkannya dengan mengajak kencan.

“Kenapa, kamu malu boncengan motor?”

“Enggak kok. Yuk!”

Lyvia membalikkan tubuhnya. Mengikuti langkah Fei menuju parkiran.

“Sorry, Helmnya cuma satu. Kukira kamu bawa motor,” ujar Fei saat menyalakan mesin motornya.

Bunyi mesin menderum halus. Lyvia duduk di boncengan motor dengan perasaan sedikit kikuk. Selama ini, dia juga pernah beberapa kali dibonceng teman-teman prianya. Tetapi, saat menyadari kalau pria di depannya adalah Fei, perasaan santai itu menguap entah kemana.

Tubuhnya sedikit terdorong ke depan saat Fei mengerem di depan lampu merah.

“Sorry...”

Lihat selengkapnya