Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #19

Samsul #19

Tambelan, seminggu kemudian,

“Kami ucapkan selamat datang kepada Ibu Lyvia, sebagai Sekcam baru di tempat kami. Semoga ibu kerasan di pulau terpencil ini, dan bisa membimbing para staf dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan serta mengayomi masyarakat di sini.”

Ucapan Pak Camat yang mewakili para bawahannya, menjadi pamungkas seremoni sederhana mereka pagi itu. Baru sehari menjejakkan kaki di Tambelan, Lyvia sudah harus  memulai tugas barunya di kantor kecamatan.

Nyaris tidak ada perubahan berarti setelah kunjungannya beebrapa bulan lalu. Hanya saja, sekarang dia harus mampu selekasnya beradaptasi, dan berusaha untuk kerasan. Tidak ada yang bisa memprediksi, sampai kapan dia akan bertugas di sini. Mungkin setahun, lima tahun, ataupun menghabiskan sisa masa kerjanya yang masih panjang di pulau ini.

“Bu Lyvia, hari ini sepertinya kita tidak terlalu banyak pekerjaan. Program dan kegiatan untuk tahun ini Alhamdulillah sudah terlaksana semua, hanya tinggal evaluasi dan monitoring. Ibu mau tetap di kantor atau kita berkunjung ke rumah warga, sekalian silaturahmi?” tawar Samsul, sang Camat Tambelan.

Secara usia, Samsul hanya terpaut beberapa tahun di atas Lyvia. Hanya bedanya, Samsul sudah beristri. Sebelum berangkat, teman-teman kantornya bahkan sempat mengingatkannya untuk tidak  tergoda dengan camat muda yang lumayan tampan itu.

“Sepertinya, saya lebih tertarik mengunjungi warga,” jawab Lyvia setelah beberapa detik terdiam. Saat sejenak beradu pandang dengan Samsul, hati kecilnya membenarkan “peringatan” teman-temannya. Di usianya yang masih kepala tiga, Samsul sudah terlihat berkharisma. Tatapan matanya tajam dan hangat. Bahasa tubuhnya juga terkesan penuh percaya diri.

“Baiklah, tunggu sebentar. Saya ajak beberapa teman dulu. Ibu mau bawa motor sendiri atau dibonceng?”

“Bawa sendiri saja.”

Sejujurnya, Lyvia merasa risih dipanggil “ibu”. Bertahun-tahun menjadi Kasubbag di kantor sebelumnya, rekan kerja hingga staf lebih suka memanggil nama atau menyapa dengan sebutan kakak. Namun demi menghormati pak Camat dan rekan-rekan barunya, Lyvia mencoba beradaptasi dengan panggilan itu.

Cuaca lumayan panas saat mereka berkeliling dan sesekali menyinggahi kediaman warga. Beberapa kali Samsul mengonfirmasi apakah Lyvia masih ingin melanjutkan atau kembali ke kantor, namun Lyvia tetap ingin berkeliling.

“Maaf ya Pak, bukannya bermaksud memanfaatkan jam kantor untuk jalan-jalan, mumpung masih semangat, sekalian berkenalan juga dengan warga,” ujar Lyvia. “Oh ya, bagaimana dengan program perlindungan penyu di sini, Pak? Saya dengar program itu pernah dirintis. Apakah masih berlangsung atau stagnan?”

Samsul tampak tertegun sejenak. Menatap Lyvia cukup lama sebelum menjawab, “Ibu punya atensi juga ternyata pada program itu. Untuk masa sekarang, kita masih terus berupaya. Ada beberapa pulau di sekitar sini yang rencananya bakal jadi titik konservasi. Namun, untuk penjualan illegal, yang dibawa keluar dengan kapal, kita memang belum bisa berbuat banyak. Tetapi, saya yakin, kalau semua pihak mau komitmen untuk keberlangsungan perlindungan penyu-penyu, kelak hal itu pun bisa teratasi.”

Lyvia tersenyum puas dengan jawaban Samsul. Meskipun di telinganya, kalimat itu lebih mirip kata sambutan yang sudah dikonsep sebelumnya, bagi Lyvia, lebih baik untuk tidak terlalu banyak berprasangka, pada mereka yang entah sampai kapan akan menjadi mitra kerjanya.

“Selama Bapak menjadi Camat di sini, Bapak pernah dengar tidak? Kisah tentang Annisa dan keramba penyunya?”

Tatapan Samsul kepadanya mendadak berubah. Seakan Lyvia baru saja mengatakan bahwa besok pagi akan terjadi tsunami yang menenggelamkan seisi pulau Tambelan.

 

*************

 

“Darimana Ibu tahu tentang Annisa?”

Pertanyaan itu baru dilontarkan Samsul kepadanya setelah acara bersilaturahmi berakhir, dan di tangan mereka tergenggam kantong-kantong berisi kue-kue kering dan keripik, oleh-oleh dari warga yang mereka kunjungi.

Padahal, tidak ada pemberitahuan sebelumnya akan kunjungan mendadak itu. Juga tidak memuat misi khusus. Namun, sepertinya antena warga cukup kuat, dan bermodalkan informasi dari mulut ke mulut, sudah cukup untuk mereka melakukan “penyambutan” sederhana meski hanya dengan secangkir kopi dan buah tangan.

“Dari.....” Lyvia nyaris saja keceplosan menyebutkan sumber pengetahuannya. Sekelebat ingatannya akan Fei akhirnya menjadi “penyelamat”nya dari telanjur mengatakan sesuatu yang mungkin akan terdengar membingungkan. “.....seseorang.”

“Siapa?” Samsul menatapnya penasaran.

“Masih teman kantor juga,” kilah Lyvia. “Kalau Bapak sendiri, tahu dari mana? Sepertinya, Annisa sudah lebih dulu tiada sebelum Bapak ditugaskan kemari, bukan?”

“Wah, Ibu ternyata tahu cukup banyak ya.” Samsul mengukir seulas senyum. “Saya bahkan hanya tahu sekilas saja. Mungkin, karena orangnya sudah tiada, orang-orang pun memilih tidak banyak bercerita tentangnya untuk menghormatinya.”

“Apakah keluarga Annisa masih ada di pulau ini, Pak?”

“Sepertinya sudah tidak ada. Yang saya dengar, mereka sudah pindah ke Kalimantan.”

Berarti informasi yang dia dapatkan saat di kapal dulu tidak keliru. Tentang keluarga Annisa yang sudah hijrah dari Tambelan. Batin Lyvia sibuk menganalisa.

“Apa Bapak juga tahu tentang nasib keramba yang dulu Annisa buat?”

Samsul menggeleng. “Saya tidak tahu. Kalaupun masih ada, saya yakin sudah rusak karena tidak ada lagi yang merawat. Lagipula, sudah lama sekali. Omong-omong, boleh saya tahu kenapa Ibu antusias sekali dengan Annisa?”

“Karena...” Kalimat Lyvia menggantung di udara. Sekelebat bayangan itu melintas begitu saja. Tidak hanya satu, tetapi juga bermunculan begitu saja. Tidak terlalu jelas bentuknya, namun dirasakannya kalau suasana di sekitar kantor Camat ini mulai “ramai”.

“Bu Lyvia?”

“Eh...” Lyvia menjawab gugup.

“Anda tidak apa-apa?”

“Ti...tidak apa-apa. Tadi barusan, Bapak tanya apa?”

Samsul justru menghela napas. “Ibu sepertinya lelah setelah berkeliling. Ibu istirahat saja dulu, nanti-nanti saja kita lanjutkan ngobrolnya.”

 

*************

 

Tiga hari berlalu sejak pembicaraan mereka yang tak selesai. Samsul sepertinya tidak berminat untuk merepetisi pertanyaannya ketika itu. Hari-hari Lyvia lebih banyak diisi dengan mempelajari semua tugas barunya, dan sesekali mewakili Samsul menghadiri kegiatan yang digelar warga. Kebiasaan bahwa Sekcam lebih sering menggantikan Camat dalam hal seremoni dan hajatan, ternyata juga berlaku di pulau terpencil ini. Namun bagi Lyvia, hal itu bukan masalah. Sebagai orang baru, dia justru menyukai momen saat harus berinteraksi dengan warga. Melihat dari dekat seperti apa kultur dan kebiasaan masyarakat setempat. Tak peduli saat di dalam beragam acara itu, mereka pun selalu ada.

 Lyvia baru saja meninggalkan ruangannya saat Samsul tengah menutup pintu ruangannya sendiri. Kantor telah sepi. Jam kerja sudah berakhir sepuluh menit lalu. Menurut cerita beberapa orang staf, Samsul selalu menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor. Mungkin, menjadi “bujang lokal” di pulau ini membuatnya lebih betah berada di kantor. Namun hari ini, “rekor” itu sudah terpecahkan.

“Saya kira sudah pulang.”

Lihat selengkapnya