Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #20

Keramba #20

“Ada apa?”

Lyvia mengangkat wajahnya. Samsul tengah menatapnya dengan ekspresi sedikit khawatir. Apel pagi baru saja usai. Para pegawai bergerak santai menuju ruang masing-masing dan sebagian lagi justru memutar haluan menuju warung Bu Siti.

Bekerja di kecamatan terpencil, membuat ritme berlangsung santai. Tak ubahnya irama lagu pop era delapan puluhan. Nyaris tidak ada beban pekerjaan yang membuat mereka harus terburu-buru setiap paginya.

“Kenapa?” pertanyaan Lyvia terucap dengan raut bingung. Bukankah dia memang tidak melakukan apapun yang bisa memancing Samsul untuk bertanya ada apa?

“Siapa yang yang mendatangimu semalam?”

Lyvia cepat-cepat menunduk. Menyembunyikan ekspresinya yang ia yakin akan terlihat gugup.

Bagaimana Samsul bisa menebak kalau dia didatangi sosok itu tadi malam? Jangan-jangan, Samsul tidak hanya seorang indigo. Tetapi juga seorang cenayang.

“Ah, bukan siapa-siapa. Saya ....ke ruangan dulu...pak.”

Tanpa menunggu jawaban Samsul, Lyvia bergegas menuju ruangannya. Mengabaikan tatapan Samsul yang masih tertuju lekat kepadanya.

 

 **********

 

“Mau kemana bu Via? Makan siang?”

Lyvia baru saja memutar kunci motor saat suara yang sudah familier itu terdengar dari arah belakang punggungnya. Baru kemarin malam dia memanggil Ly, dan sekarang....bu Via?

“Mau keluar sebentar Pak. Ada perlu.”

“Belum puas jalan-jalannya kemarin?”

Lyvia tercekat. Tidak salah lagi. Samsul memang punya bakat cenayang.

“Maaf Pak. Sebentar saja kok. Kan sekarang memang jam istirahat. Insya Allah sebentar lagi saya sudah kembali ke kantor.”

Samsul seperti akan mengatakan sesuatu. Dan dia memang melakukannya, meskipun yang keluar dari mulutnya hanya ucapan basa basi. “Hati-hati di jalan.”

 

**********

 

Lyvia melirik arlojinya. Tiga puluh menit berlalu, dan belum juga ada petunjuk berarti tentang lokasi keramba yang dibuat Annisa. Jam istirahat hanya tersisa tiga puluh menit lagi. Meskipun tidak ada pekerjaan yang benar-benar mendesak dan telat beberapa menit bukanlah masalah, Lyvia tak ingin gagal memenuhi janjinya pada Fei.

“Ibu Lyvia?”

Dia menoleh. Seorang pria berkemeja putih dan berpeci menghampirinya. Lyvia tak mengenalinya.

“Kenalkan. Saya Mamat. Ibu Sekcam baru di sini kan?”

Lyvia mengangguk.

“Kemarin istri saya bilang ibu dan pak Camat datang ke rumah. Saya pas sedang melaut. Oh ya. Apa Ibu sedang mencari seseorang? Dari tadi saya lihat Ibu menemui orang-orang yang ibu lewati dan bertanya sesuatu. Maaf. Bukannya saya sengaja memerhatikan. Tetapi, kebetulan saya memang tengah duduk di depan warung.” Mamat menunjuk sopan pada warung kopi yang berada di tepi jalan.

Ada beberapa bangku panjang di depan warung. Siapa pun bisa melihat apa yang terjadi di jalan saat tengah duduk bersantai di situ.

“Bapak penduduk asli pulau ini?”

“Iya Bu. Sudah 15 tahun saya tinggal di sini.”

15 tahun. Itu bukan waktu yang sekejap. Lyvia membatin.

“Bapak kenal dengan Annisa? Atau pernah mendengar tentangnya?”

Lelaki itu membalas tatapan Lyvia selama dua detik. “Maaf, saya tidak kenal. Saya permisi dulu Bu.”

“Tunggu.”

Gerakan lelaki itu membalikkan tubuhnya terhenti. Lyvia menghampirinya. Berdiri persis di depannya. “Bapak tahu sesuatu. Tolong, jangan sembunyikan itu dari saya.”

Lihat selengkapnya