Lyvia kembali lagi keesokan harinya. Dia memutuskan untuk mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum mendatangi keramba. Celana jeans longgar dan kaus panjang berwarna hijau army menjadi pilihannya.
Dia sudah berniat akan memperbaiki keramba yang telah nyaris tak berbentuk. Oleh karenanya, segalanya harus diperhitungkan dengan cermat. Dan untuk petang ini, dia tak lupa membawa serbuk abate lalu menaburkannya di atas permukaan air yang telah menjadi rumah jentik-jentik.
Tidak ada pesan dari Fei sejak kemarin. Barangkali, pria itu memang serius dengan kalimat terakhirnya, untuk tidak memaksa diri menunaikan janji. Atau ada sesuatu yang lain. Lama-lama, Lyvia mulai lelah memikirkan Fei. Mungkin saja, lelaki itu pun mulai lelah dengan obsesinya. Mulai muak dengan rindu yang tak pernah terbalas. Dan sejauh ini, dia belum menemukan alasan lain yang melatarbelakangi permintaan Fei selain dorongan rasa bersalah.
Lyvia kembali fokus pada keramba. Dari beberapa video tutorial yang ia simak tentang pembuatan keramba, yang butuh waktu cukup lama untuk menontonnya bahkan seringkali putus sebelum selesai, ada beberapa material yang bisa digunakan untuk pembuatan keramba.
Annisa menggunakan kayu dan jaring sederhana. Wajar saja kalau daya tahannya ambruk oleh cuaca dan penelantaran. Dan kini Lyvia tengah menimbang-nimbang antara hendak menggunakan besi atau paralon. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Satu yang pasti, dia harus mengecek ketersediaan barang yang ada di pulau ini, sebelum tiba jadwal kapal berikutnya untuk pulang ke Bintan.
Sesuatu yang bergerak dari arah bekas rumah Sahak seketika mengalihkan perhatian Lyvia. Semestinya, dia sudah terbiasa dengan gerak dan kelebatan semacam itu. Juga perubahan suasana di sekelilingnya, yang tentu saja, hanya ia yang merasakan.
Namun, entah mengapa, petang ini terasa berbeda. Napasnya mendadak terasa sesak, dan wajah-wajah yang bermunculan kian lama kian ramai. Semuanya menuju ke satu titik. Ke arahnya.
Ada apa dengan mereka?
Apa yang salah dengan dirinya?
Lyvia menyaksikan wajah-wajah berselimut amarah. Dan suara-suara yang kian ramai meriung. Kepalanya mulai berat. Pandangannya berkunang-kunang. Kian lama, bayang-bayang yang merubung itu tak ubahnya percampuran warna gelap dan noda darah.
Pada detik entah keberapa, Lyvia tak ingat apa-apa lagi.
*********
Aroma minyak kayu putih terasa menyengat saat Lyvia membuka matanya pelan-pelan. Bayang-bayang kabur di pelupuk matanya perlahan berubah jernih. Sekelilingnya terasa asing. Begitu pula sosok pria yang pertama kali tertangkap oleh netranya.
Seorang pria tua berpeci. Bagian rambut yang terlihat di bawah pecinya begitu pun kumis dan alisnya telah memutih seutuhnya.
“Alhamdulillah. Sudah sadar.” Pria tua itu yang pertama berkomentar.
Lyvia mengedarkan pandangan. Ada Samsul dan beberapa orang staf kecamatan. Dia tengah terbaring di atas sebuah ranjang kayu. Dikelilingi oleh dinding papan bercat putih yang mulai kusam. Diatasnya, langit-langit rumah yang terbuka dan memperlihatkan rangka-rangka kayu.
“Pelan-pelan saja, nak. Nanti pusing.”
Ujar sang pria tua saat Lyvia mencoba duduk. Pria itu benar. Kepalanya masih terasa sedikit berat. Dan tubuhnya terasa lemas.
Seorang staf kecamatan – Ririn – menghampirinya seraya membawakan segelas teh hangat.