Lyvia mengusap peluh yang bercucuran. Dia sudah berkeliling ke toko-toko bangunan yang jumlahnya sangat minim. Pencariannya berakhir nihil. Tidak ada satu pun toko menjual material yang ia butuhkan untuk membuat keramba. Dia memang berhasrat membuat keramba yang bagus, tidak sekadar keramba sederhana yang cepat rusak.
Rasa haus menarik langkahnya untuk singgah di sebuah kedai kopi. Sesiang ini, pengunjungnya cukup ramai, terutama para pria. Lyvia memilih duduk di tempat paling pojok, lalu memesan segelas teh panas.
“Aku dengar, Bu Sekcam yang baru tu semangat betol ye nak buat keramba.”
Kalimat itu terdengar jelas di telinga Lyvia. Dia tidak tahu sumber jelasnya. Satu yang pasti, pria yang mengatakan itu pasti tengah duduk membelakanginya.
“Aok (iya), dengar-dengarnye lagi, die nak lanjutkan niat almarhum Annisa dulu. Kau ingat ‘kan? Keponakan Sahak yang meninggal ka...”
Ucapan lelaki kedua terhenti. Seseorang mungkin telah menahannya dari menyelesaikan kalimatnya.
“Ye, aku ingat. Tapi bukannya senang nak buat tu. Yang aku heran, die kenal Annisa dari mane e? Annisa kan dah lame meninggal. Jauh sebelum Bu Sekcam tu tugas di sini.”
“Entahlah. Die kenal dengan seseorang yang tahu beno (benar) dengan Annisa agaknye.”
Pembicaraan para pria itu masih berlanjut. Namun topik mereka telah berganti. Lyvia menghirup tehnya dalam-dalam. Dari mana mereka tahu? Apakah dari kejadian kemarin? Lalu ada yang tidak bisa menahan mulutnya dari bercerita pada orang lain? Lyvia menyimpan rasa penasarannya, dan berharap tak seorang pun mengenalinya di kedai ini.
“Hei, Via!”
Lyvia tersentak. Harapannya kandas. Seseorang baru saja menyebut namanya. Dia mengangkat kepalanya. Dan kedua matanya spontan terbeliak.
“Fei!”
Pria itu memang Fei. Dia berdiri dekat tiang kayu pada bagian depan warung. Sebuah kamera DLSR tergantung di dadanya.
“Kapan kamu sampai?”
Lyvia bertanya separuh memekik. Dia baru menyadari volume suaranya yang cukup besar saat tak sengaja menoleh. Tepatnya, ke arah sekelompok pria yang tengah menatapnya kikuk. Kelompok yang baru saja membicarakannya.
Namun Lyvia sedang tak ingin peduli dengan percakapan yang sudah menjadi milik masa lalu itu. Perhatiannya kini hanya tertuju pada Fei. Entah mengapa, kehadiran pria itu menggetarkan hatinya dengan rasa senang dan lega sekaligus.
“Duduklah. Kamu sudah makan?”
Fei menggeleng, lalu menarik kursi di depan Lyvia. “Apa yang ada di sini?”
“Mm, mi rebus, nasi campur juga ada. Kalau kamu mau makan nasi, kamu harus pilih sendiri lauknya,” ujar Lyvia seraya menunjuk ke arah etalase kaca. Dibalik kaca itu, berjejer beraneka lauk pauk di dalam piring-piring.
Fei segera menuju ke arah etalase hidangan, lalu mengatakan sesuatu dengan pemilik kedai seraya menunjuk lauk-lauk itu. Lyvia memerhatikan dalam diam. Entah ini hanya perasaannya saja, namun siang ini, dengan wajah yang tampak lelah dan sepertinya baru saja menempuh perjalanan jauh, lelaki itu tampak menarik.
Ah. Lyvia cepat menepis perasaan yang baru saja muncul. Fei telah kembali ke hadapannya seraya mengunyah tempe goreng yang ia comot dari salah satu piring lauk.
“Kamu belum jawab pertanyaanku, Fei.”
“Apa?” Fei balik bertanya dengan mulut masih berisi tempe goreng.
“Kapan kamu sampai? Bukankah tidak ada jadwal kunjungan Bupati sekarang?” tanya Lyvia beruntun.
“Memangnya harus menunggu jadwal kunjungan dulu baru kemari?”
Fei telah kembali ke karakter aslinya. Sinis dan acuh tak acuh. Namun Lyvia tak lagi merasa terganggu apalagi tersinggung. Baginya, melihat kedatangan Fei yang tiba-tiba sudah lebih dari cukup untuknya mengabaikan sifat aneh Fei.
Ibu penjaga warung datang membawa sepiring nasi dan lauk pesanan Fei. Pria itu tampak sangat lapar. Piringnya dipenuhi berbagai lauk dan nasi yang membukit.
“Kamu tidak makan?” tanya Fei.