“Wah, dah lame kite tak jumpe ye nak. Ape kabar?”
“Alhamdulillah sehat Pak. Saya minta maaf ya Pak. Sejak tinggal di sini, baru hari ini mengunjungi Bapak,” ucap Lyvia tulus dan setengah sungkan. Dia memang belum bersilaturahmi dengan Pak Burhan lagi sejak pindah ke Tambelan.
“Sudah bise makan telur sisik, Nak?” Istri Pak Burhan ikut nimbrung. Pipi Lyvia menghangat. Wanita ramah ini ternyata masih ingat kalau dia tidak suka makan telur sisik. Malam ini dia menyuguhkan bingka berendam dan teh hangat. Tidak ada lagi telur sisik.
Fei sejak tadi lebih banyak diam. Satu-satunya pertanyaan yang tertuju pada Lyvia hanyalah, “Kamu sendirian?”
Lyvia mengangguk. Dia memang belum punya teman akrab selama di Tambelan. Dan dia yakin tidak ada teman kantornya yang mau diajak malam-malam ke sini.
“Nak Lyvia sudah tahu atas tujuan apa Nak Fei mengajak ke sini?”
Lyvia menggeleng. “Saya belum tahu, Pak. Tetapi, saya yakin Fei nggak punya maksud buruk.”
Pak Burhan tersenyum. “Tentulah. Die kan teman baik Nak Lyvia. Mane mungkin punye maksud buruk.”
Teman baik? Dengan ekor matanya, Lyvia melirik Fei. Apa saja yang sudah dikatakannya pada Pak Burhan sehingga lelaki tua itu berkata begitu? Namun yang dilirik tengah sibuk mengutak-atik kameranya. Seakan tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Pak Burhan.
“Pak Burhan sudah lama kenal Fei, ya?” tanya Lyvia. Dari bahasa tubuh dan sikap Pak Burhan, mengesankan kalau orang tua itu sudah cukup akrab dengan Fei.
“Saya kenal orang tuanya. Waktu kecil pun dia sering main di sini. Dulu die ni usil. Sekarang ni pulak jadi pendiam.”
“Oh..” Lyvia berkomentar pendek. Sejenak melirik Fei yang hanya merespon dengan sebaris senyum datar.
“Kita tunggu satu orang lagi ye. Saya mengajak teman saye juge malam ini. Sambil menunggu die datang, sile lah dicicip dulu bingke buatan istri saye. Mumpung masih hangat.”
Lyvia mengambil sepotong bingke, menyadari bahwa saat ini di rumah Pak Burhan mulai “ramai”. Dia tidak sedang berminat untuk mengamati “mereka”, karena saat ini pikirannya dipenuhi rasa penasaran.
Dia baru saja menyendok sepotong bingke ke mulutnya ketika pintu rumah Pak Burhan diketuk. “Assalamualaikum.”
Suara itu terdengar familier. Lyvia mengangkat wajahnya. Kedua matanya langsung bersirobok dengan sang pemilik suara yang ternyata telah masuk ke dalam rumah. Yang ditatap juga tak kalah terkejutnya. “Via? Kamu di sini?”
“I…iya. Jadi, yang diajak Pak Burhan itu, kamu? Eh, Bapak?”
Di depannya, Samsul tertawa. “Pakai dikoreksi segala. Iya, Pak Burhan mengajak saya datang malam ini. Tapi tidak bilang siapa lagi yang diajak.”
“Astagfirullah. Saya sampai lupa kalau Nak Samsul dan Lyvia satu kantor.” Pak Burhan menepuk keningnya. “Oh ye, Nak Samsul, ini Nak Fei. Pegawai dan fotografer andal di Bintan. Die ni lah yang sebenarnya utarakan keinginan untuk rencana kite malam ni.”
Fei berdiri. Menyalami Samsul seraya menyebut namanya. Lyvia memperhatikan dalam diam. Menyadari ada kilatan aneh di mata Fei saat menatap Samsul.