Sebulan kemudian,
Rutinitas Lyvia berlangsung lebih padat akhir-akhir ini. Sudah menjadi ritme tahunan yang berulang di kebanyakan organisasi pemerintah, mendekati akhir tahun, volume pekerjaan dan kegiatan akan bertambah banyak.
Berbagai bayang-bayang masih kerap menghantui Lyvia, termasuk bayang-bayang yang “mengantarkannya” pada urusan pelestarian penyu, namun Lyvia memilih untuk fokus pada pekerjaannya.
“Sedang apa, Vi?”
Samsul tahu-tahu saja sudah menarik kursi di depannya. Pria itu sekarang lebih sering memanggilnya Vi, seakan ingin terkesan berbeda dari yang lain.
“Sedang menyusun RKA untuk APBD Perubahan, Pak. Deadline-nya minggu depan ‘kan?”
“Lho, kenapa kamu yang susun? Itu ‘kan tugas bagian program?”
“Mm, maksud saya ….saya hanya bantu mengoreksi dan merapikan. Yang menyusun tetap Nizam,” kilah Lyvia gugup. Dia terpaksa sedikit berbohong. Sudah beberapa kali dia mengingatkan Nizam, tetapi pria muda itu tetap saja tak kunjung menyelesaikan pekerjaannya, sementara tenggat waktu kian dekat. Dan sudah tiga hari ini, Nizam malah tidak kunjung tampak batang hidungnya dengan alasan sakit.
“Saya ada kabar kurang sedap.”
Lyvia sejenak menghentikan kesibukannya di depan komputer. Ekspresi Samsul tampak murung. “Kabar apa, Pak?”
“Negosiasi saya dengan anggota dewan Dapil sini untuk menjadikan penangkaran penyu sebagai bagian aspirasinya, mentok. Alasannya, dia sudah berjanji kepada kelompok masyarakat untuk membantu penyediaan sarana bengkel.”
Kening Lyvia berkedut. “Bengkel? Bukankah di sini kendaraan bermotor tidak terlalu banyak? Dan dari pengamatan saya, bengkel-bengkel yang sudah ada di pulau ini, masih cukup untuk melayani keperluan masyarakat.”
“Itulah, saya juga heran. Tetapi, beliau bilang, yang namanya janji kepada masyarakat, harus dipenuhi.”
“Apa Pak Burhan sudah tahu?”
Samsul menggeleng. “Saya tidak tega memberitahu. Beliau sangat antusias dan seratus persen yakin kalau rencana ini akan terlaksana.”
“Tapi, kita masih bisa mengusulkannya pada Musrenbang tahun depan ‘kan Pak?”
Samsul melipat tangannya di dada. “Kamu lupa ya, Vi? Usulan Musrenbang sudah kita kirimkan bulan lalu. Dan tidak ada satu pun desa yang mengusulkan penangkaran penyu karena mereka menganggap itu tidak perlu. Bahkan dapat mengancam mata pencaharian mereka. Jadi satu-satunya kesempatan kita adalah melalui dana aspirasi. Dan kita harus menunggu setahun lagi untuk bisa berunding kembali dengan si anggota dewan.”
Ada kekesalan yang nyata tergambar pada wajah dan nada suara Samsul. Lyvia memilih untuk diam. Sesungguhnya dia pun sama kecewanya. Segala rencana yang terlihat lancar pada mulanya, kini justru seakan tengah berjalan menuju lorong buntu.
“Untuk saat ini, kita fokus saja dulu pada penyusunan RKA. Kalau ada yang perlu kita diskusikan, segera info ke saya,” pungkas Samsul. Pria itu baru saja berdiri dari kursi saat langkahnya tiba-tiba berhenti.
“Vi, temanmu si Fei itu, apa dia teman dekatmu?”
Pertanyaan itu seakan meruapkan sesuatu yang asing. Lyvia mengangkat wajah dan menatap Samsul. “Mau dibilang teman dekat, sepertinya tidak juga. Lebih cocok disebut teman biasa.”