Menembus Bayang

Riawani Elyta
Chapter #27

Sang Anggota Dewan #27

Sebulan kemudian,

“Vi, kamu ikut saya lusa ke Bintan. Ada rapat pembahasan Perubahan APBD terkait dana aspirasi. Katanya, ada perubahan lagi sebelum diketuk. Dan Pak Fadil, dewan yang tempo hari kuajak negosiasi tentang bantuan penangkaran, ingin bertemu denganmu. Apa kamu diam-diam mengontak beliau?”

Lyvia menatap Samsul bingung. “Saya tidak pernah mengontak beliau. Nomornya saja saya nggak punya. Dia salah orang kali Pak?”

Samsul menggeleng lalu menunjukkan layar ponselnya. “Ini buktinya.”

Lyvia membaca pesan singkat di layar Samsul. Dalam pesan itu, jelas tertera namanya bahkan jabatannya. Ada apa gerangan anggota dewan itu ingin menemuinya?

“Nggak usah terlalu dipikirkan,” tukas Samsul, seakan dapat membaca isi benak Lyvia. “Waktu saya tanya, beliau hanya bilang, nanti saja dibicarakan sebelum rapat. Yang penting, kamu ikut ke Bintan. Sudah lama juga ‘kan nggak pulang?”

Lyvia mengangguk. Sejak bertugas di Tambelan, ia memang belum pernah mudik. “Ada pegawai lain yang ikut?”

“Tidak, hanya kita berdua. Anggaran mepet. Kalau bukan karena Pak Fadil ingin bertemu kamu, biasanya saya sendiri yang hadir.”

Oh ya? Lyvia tidak berkomentar kali ini. Berharap Samsul tidak akan menggunakan kesempatan ini untuk berusaha kembali mendekatinya.

 

*********

 

“Pak Samsul dan ibu Lyvia, silakan ke ruang Pak Fadil. Beliau sudah menunggu.”

Ucap seorang wanita muda berjilbab kuning dengan senyum ramah. Samsul dan Lyvia yang sudah tiba di kantor DPRD mengikuti wanita itu menuju ruang kerja Fadil. Meski beberapa kali pernah menghadiri rapat di sini, baru kali ini Lyvia masuk ke ruang kerja anggota dewan.

Kepalanya masih terasa pusing setelah sehari semalam berada di atas kapal. Jadwal ketibaan kapal di Bintan ternyata bertepatan dengan hari digelarnya rapat pembahasan. Sebutir obat sakit kepala yang tadi ditelannya belum banyak bereaksi. Dan menyadari bahwa dia akan bertemu langsung dengan Fadil, membuat kepala Lyvia rasanya bertambah berat.

Fadil ternyata menunggu mereka di ruang rapat kecil yang terletak persis di depan ruang pribadinya. Baru kali ini juga Lyvia melihat Fadil secara langsung. Pria berjambang lebat itu tampak lebih tua dari yang terpampang di baliho. Ekspresi pria itu tampak kaku. Dia menyambut kedatangan mereka tanpa senyum.

“Duduklah.” Suaranya terdengar seperti pengisi suara film-film kolosal. Berat dan dingin.

Lyvia duduk bersisian Samsul, sementara Fadil duduk di kursi tengah. Kursi yang biasa diduduki pemimpin rapat. Lelaki itu meraih surat kabar yang sejak tadi tergeletak di atas meja, lalu setengah melemparnya ke arah Samsul dan Lyvia.

“Ini surat kabar kemarin. Apa kalian sudah baca?”

Samsul menggeleng, berusaha menata senyum meski tampak kecut. “Belum Pak. Kami masih di kapal kemarin, jadi, tidak sempat baca berita. Ada apa, Pak?”

“Baca artikel halaman pertama, yang judulnya Rumah untuk Seribu Penyu.”

Suara Fadil masih terdengar dingin. Samsul membentangkan surat kabar, menggeser sedikit kursinya agar bisa membacanya bersama Lyvia.

Ferry Irwansyah, staf Humas Pemkab Bintan. Nama itu tertera persis di bawah judul artikel yang disebutkan Fadil. Berarti, ini artikel yang ditulis Fei, batin Lyvia. Tetapi,kenapa Fei belum mengabarinya?

Ah, ia baru ingat bahwa sehari semalam di atas kapal, tidak ada sinyal seluler yang bisa ia harapkan. Mereka baru tiba subuh tadi, dan buru-buru bersiap untuk datang kemari. Lyvia hanya sempat mandi dan berganti pakaian serta berdandan seadanya. Dan dia belum sempat mengecek ponselnya.

Namun, saat ini ia memilih untuk membaca saksama artikel itu ketimbang memeriksa isi ponselnya. Artikel itu cukup panjang. Tidak hanya menjadi headline di halaman utama tetapi nyaris menghabiskan satu halaman penuh pada halaman berikutnya. Dan itu baru untuk bagian pertama.

“Ini sambungannya di koran hari ini. Silakan dibaca juga.” Fadil mendorong sebuah surat kabar lagi ke arah mereka.

Samsul masih membaca surat kabar yang pertama namun Lyvia sudah membuka surat kabar kedua untuk membaca lanjutannya. Tulisan Fei yang sekilas ia baca di bagian pertama terasa familier. Data yang sudah ia berikan pada Fei, sebagian besar tertuang dalam essai yang cukup serius. Selama mengenal Fei, baru kali ini ia membaca tulisan lelaki itu. Fei ternyata tidak hanya jago memotret. Tetapi juga berbakat menulis. Tata bahasanya rapi, detil, namun kritis dan komprehensif. Fei tidak menyudutkan salah satu pihak. Namun Lyvia yakin, siapa pun yang membacanya dengan saksama, tahu atau tidak tahu sama sekali tentang pelestarian penyu, akan terbuka wawasannya tentang urgensi pelestarian hewan langka itu.

Lihat selengkapnya