Pulau Derawan, enam bulan kemudian
Gemuruh sorak sorai mengiringi “parade” ratusan anak penyu yang merayap di atas pasir. Semula reptil-reptil mungil itu tampak ragu, namun kian lama langkah mereka kian gegas, seakan berlomba hendak lebih dulu mencapai laut.
Kepala daerah yang hari ini mengenakan t-shirt bertulis Rumah Untuk Seribu Penyu, tampak sumringah. Meski ia sudah melepaskan seekor tukik sebagai penanda bermulanya even pelepasan, ia mengambil seekor lagi dari penangkaran, lalu melepasnya ke laut.
“Pak Sani, Pak Burhan, Pak Mirwan, Pak Samsul, semuanya, ayo kita bertanding. Penyu siapa yang paling cepat sampai ke laut!”
Seruan sang Bupati, yang meski terucap dengan penuh keceriaan tak ubahnya anak-anak mendapat doorprize, di telinga mereka yang namanya disebutkan, adalah sebuah perintah. Sebagian tampak sama antusias saat mengambil penyu dari penangkaran. Beberapa tampak berusaha menahan geli saat harus memegang reptil yang terasa licin di tangan.
“Biar saya kasih komando, Pak!” Seorang staf protokol lekas berinisiatif. “Mohon Pak Bupati dan bapak-bapak semua berdiri sejajar. Nanti begitu saya beri aba-aba baru lepaskan penyunya. Kita akan lihat penyu siapa yang duluan sampai ke laut. Tim dokumentasi semua siap ya!” Ujarnya lantang seraya memberi kode kepada rekan-rekannya yang segera bersiaga dengan kamera dan camcorder di tangan. “Satu…..dua….tiga….yak!”
Tempik sorak kembali membahana, sebagian besar menyemangati anak penyu yang meluncur dari tangan sang kepala daerah. Ide spontan itu ternyata menjelma turtoise race yang sangat menghibur.
Lyvia sedikit menjauh dari arena racing. Ikut berteriak menyemangati para kontestan. Tangannya terkepal ke udara saat salah satu anak penyu berhasil menjadi yang pertama mencapai laut, tak peduli itu jagoan siapa. Ruapan kelegaan memenuhi setiap sudut hatinya. Pandangannya menyapu setiap jengkal pantai, menemukan bayang-bayang yang tak kalah banyak jumlahnya dengan manusia yang hari ini turun ke pantai. Namun hari ini ia sedang tak ingin peduli apakah bayang Annisa ada di dalam lautan bayang-bayang itu. Satu kalimat terbit begitu saja dalam benaknya. Andai kau di sini, pasti kau akan merasa lebih dari bahagia.
“Hei!”
Lyvia tergeragap. Lamunan syahdunya buyar oleh suara yang sudah tak asing. Suara pria yang sejak acara dimulai, selalu berada dalam radius terdekat dengan sang kepala daerah. Belakangan, santer kabar beredar di kalangan teman-teman dinas lamanya, bahwa Fei akan dipromosikan. Artikel dan videonya ternyata sampai juga ke radar sang kepala daerah. Setelah Fadil, sang bupati ternyata ikut terkompori. Apalagi, momen pemberian hibah penangkaran penyu yang menghadirkan eksistensi Fadil di dalamnya, diliput dan dipublikasikan lumayan gencar.
“Aku punya hadiah untukmu. Sebagai rasa terima kasihku untukmu atas dukunganmu dulu. Sungguh, aku nggak menyangka dampaknya sangat besar. Maaf, baru sempat memberinya sekarang.”
Fei menurunkan ranselnya. Lyvia menunggu dengan sedikit berdebar. Sebuah kotak berbungkus kertas kado ditarik Fei dan langsung berpindah ke tangan Lyvia. “Ini.”
Tanpa merasa perlu meminta izin, Lyvia mulai merobek kertas kado. Sebuah album foto menyembul. Lyvia perlahan membukanya. Debar di dadanya kini mulai bercampur antusias dan rasa tak percaya. Album itu berisi foto-foto saat mereka berkunjung ke Derawan, juga foto saat kunjungan pertama mereka ke Tambelan. Tetapi, dirinya menjadi objek terbanyak. Saat ia menyendok nasi di depan meja hidangan, berada di tengah warga, berdiri di tepi pantai, dan masih banyak lagi. Lyvia meneguk ludah. Debar di dadanya kini mulai bising, mengalahkan percampuran rasa yang lain. Bagaimana mungkin Fei menyimpan begitu banyak fotonya? Kapan dia menjepretnya tanpa Lyvia sadari?
“Maaf, aku dulu sering memotretmu diam-diam,” ucap Fei. Sepasang mata cokelatnya menatap teduh. “Awalnya aku hanya menuruti dorongan hati. Seperti juga dorongan untuk memotret objek-objek yang indah atau yang jarang kutemui. Tetapi, sejak pertama melihatmu, kamu memang tampak berbeda. Kamu seperti terlihat sedang berada di tempat yang jauh, sementara fisikmu ada di tengah keramaian. Terkadang tatapanmu fokus ke satu arah, padahal tak ada satu pun objek di sana. Sampai kamu cerita tentang kelainan yang kamu punya. Kupikir, rasa penasaranku akan berhenti sampai di situ. Ternyata tidak. Dorongan itu terus mengikutiku kemana pun.”
Fei berhenti sejenak. Seseorang tampak berlari kecil ke arah mereka. “Bapak memanggilku?” tanya Fei setengah berteriak.