“Sepahit empeduh kehidupan sangat menguras hati dan pikiran. Lupakan masa lalumu di pikiran dan hapuskan dalam ingatanmu. Itu yang akan menguras pikiran di hati menjadi sepahit empeduh. Tebarkanlah pikiran positif. Lelaki sejati yaitu seorang ayah yang mencintai keluarganya.”
Cerita ini didapatkan dari kakak sendiri. Sengaja kuceritakan kembali, agar menjadi pelajaran yang sangat berharga. Ketika menjadi khalifah di rumah tangga insya Allah, maaf bukan menggunjing, tetapi ini adalah pelajaran bagiku sendiri.
Setelah berapa tahun kemudian ayahku kembali ke rumah dari perantauan, usiaku waktu itu sekitar lima tahun silam. Belum mengetahui apa-apa saat itu.
Ibu yang pada saat itu mengetahui ayah kembali, bukannya merasa senang, tetapi yang ada ibu merasa marah besar dan sangat kecewa.
Perempuan mana yang mau ditinggalkan oleh suaminya, seorang diri bersama tanggungan tujuh orang anak. Selama enam tahun lamanya tak kunjung pulang ke rumah. Sementara itu, mempunyai tanggung jawab ketujuh orang anak. Tak pernah memberikan kabar melalui surat sekalipun.
Kasihan ibu dengan seorang diri mencari nafkah. Banting tulang di sawah, sampai rela kakinya kena kutu air dan gatal-gatal. Namun, yang ada di pikiran ibu. Agar kami bertujuh bisa makan. Menjadi anak-anak yang tumbuh besar, serta menjadi sukses suatu kelak nanti. Dapat membantu ibu suatu kelak dan bisa membahagiakannya.
Betapa menderitanya ibu, sehingga setiap malam selalu menghibur. Tetesan keringat untuk menghidupi kebutuhan saat itu. Ya Allah, betapa berdosanya kami. Mengingat perjuangan ibu yang begitu sabar dan menderita.
Ibu pergi pagi pulang menjelang Magrib, baru berada di dalam rumah. Coba bayangkan jika Anda berada di posisi ibu pada saat itu? Sementara itu, punya tanggung jawab ketujuh orang anak, yang masih kecil-kecil belum bisa membantu ibu bekerja.
Pendidikan ibu sampai kelas lima SD. Apa yang ia bisa perbuat? Yang ada hanyalah bekerja di sawah bak lelaki perkasa. Ya Allah, jika mengingat perjuangan ibu. Aku pun tak sanggup membendung air mata ini untuk tidak jatuh.
Betapa berdosanya diriku terhadap ibu. Bagaimana tidak berdosa? Aku masih kecil dan tidak bisa berbuat banyak. Ibu tulus dan ikhlas mencari nafkah, agar kami bertujuh bisa hidup.
Almarhumah nenek masih hidup pada saat itu. Menjaga kami di rumah. Sementara itu, ibu sendiri ke sawah. Derai air mata setiap malam hari. Melihat ketujuh anak yang masih kecil-kecil. Hanya sebuah doa yang ibu bisa panjatkan.
Semoga kami bertujuh bisa sehat-sehat, bisa menjadi anak-anak yang berbakti pada orang tua. Menjadi anak-anak yang cerdas, tidak sombong, dan sukses. Di dalam doa ibu selalu mengeluarkan air mata.