MENERJANG BADAI DI BALIK PELANGI

Jamaludin Rifai
Chapter #3

PART 3 NENEK SANG PAHLAWAN

“Arus kehidupan tak selamanya berliku-liku. Tak selamanya indah. Bagaimana cara kita mempelajari arus kehidupan itu bisa menjadi seperti indahnya pelangi? Ya, dengan banyak belajar pada kehidupan itu sendiri.”

 

Sejak umur enam tahun, aku sudah tak tinggal lagi bersama kedua orang tua. Berpisah dengan kedua orang tua. Sedih rasanya, ketika ayah mau mengantarkan ke rumah nenek di desa Pulubala.[1]

Aku pun tinggal bersama nenek dan kakek di desa Pulubala, sekitar tiga puluh dua tahun yang silam. Perasaan sedih ketika mau berpisah dengan ibu.

Aku pun memeluk erat tubuh ibu sambil menangis. Karena lebih dekat dengan ibu. Mau tidak mau, harus menerima takdir untuk berpisah dan tinggal bersama nenek, kakek, dan kakak yang keenam. Itulah yang dinamakan skenario Allah.

Ayah dan ibu punya keinginan, agar aku dan kakak keenam bisa dididik oleh nenek dan kakek. Menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan orang tua suatu kelak nanti.

Teringat seseorang yang telah berjasa kepadaku, sehingga aku menjadi seperti sekarang. Ya, beliaulah orang yang telah mendidik menjadi anak yang berprestasi. Nenek bagiku orang yang telah berjasa dan sebagai pahlawan.

Ingatanku begitu tajam, ketika nenek mendidik dengan militer. Sehingga punya hikmah di balik itu semua yang luar biasa. Mulai diajarkan mengaji, salat lima waktu, belajar membaca buku, dan menulis. Harus berprestasi ketika sekolah SD dulu.

Tak bisa mengaji pun disediakan si manis beracun alias rotan kecil di atas meja. Sehabis Magrib harus mengaji dan itu wajib. Begitu pun menjelang tidur harus dievaluasi lagi hapalan ayat-ayat Quran dan doa.

Teringat ketika tak bisa menghapal, dipukul, dan dihukum berdiri sampai bisa. Hikmahnya besar sekali buatku.

Bangun pagi jam empat Subuh. Kalau tak bangun, maka bersiaplah mendapat siraman air di tempat tidur. Disediakan pelepah kelapa yang panjang dan dilayangkan ke tubuh agar bisa bangun.

Harus menyapu di dalam rumah dan pekarangan rumah. Kakakku bagian masak dan cuci piring. Pergi sekolah tak pernah bawa uang  jajan untung saja rumah dekat dengan sekolah.

Setiap pulang sekolah catatan dan peralatan sekolah selalu diperiksa oleh nenek. Dievaluasi kembali apa yang telah dicatat dari sekolah. Ketika dilihat ada nilai merah. Maka tak segan nenek sangat marah dan memukul.

Bagi nenek itu sangat bobrok. Sangat memalukan keturunan yang tak berprestasi. Oleh karena itu, si manis beracun di atas meja segera dilayangkan ke tubuh. Tak bisa menangis dan jika kedapatan menangis, maka si manis beracun pun melayang ke tubuh ini. Jika prestasi pun ikut turun, maka siap-siap mendapatkan si manis beracun lagi.

Pulang sekolah dalam keadaan lapar dan belum bisa makan. Harus menunggu kakak pulang dari sekolah, baru bisa makan bersama.

Sementara itu, kakak perempuan sudah sekolah di SMP. Mau gimana lagi itu aturan yang harus dipatuhi dalam rumah seperti itu? Itulah yang namanya kesabaran yang harus dilatih.

Harus sabarnya menanggung lapar. Itulah aturan yang paling spektakuler untuk kami demi masa depan. Kakak pun pergi sekolah berjalan kaki, yang begitu jauh sekitar lima kilo.

Tanpa membawa satu sen pun uang jajan.Terkadang menelan air liur melihat kawannya membeli makanan di kantin. Itu yang kami rasakan betapa menderita. Hanya sebuah doa dan ketabahan dalam menghadapi lika-liku kehidupan.

Lihat selengkapnya