MENERJANG BADAI DI BALIK PELANGI

Jamaludin Rifai
Chapter #13

PART 13 HAMPIR BERUJUNG MAUT

“Untuk apa kita hidup di dunia ini kalau bukan untuk beribadah kepada Allah? Bersyukur, berpikir positif, dan selalu ingat kepada-Nya tanda kita sebagai manusia yang takwa.”

 

Sebentar lagi mau menjelang libur sekolah, aku mempunyai rencana untuk mau berlibur ke rumah orang tua di Pohuwato.[1] Mereka pindah ke Pohuwato ketika mau menjelang lulus SD.

Terpaksa enggak jadi ikut bersama mereka. Ketika mau sekolah SMP. Soalnya sekolah jauh dari rumah, melewati gunung, sungai, dan jarak rumah ke sekolah itu sekitar lima belas kilo meter. Karena ayah terkenal perantau sampai ke pelosok-pelosok untuk membuka lahan baru.

Tinggal beberapa hari libur pun akan datang. Aku pengin ikutan pergi bersama ayah ke Pohuwato. Kebetulan di rumah tetangga kala itu punya hajatan pesta.

 Jadi, ayah datang dari Pohuwato. Tiba masanya libur, berangkat bersama ayah naik angkutan umum ke Pohuwato.

Bersyukur banget aku bukan tipe orang yang enggak pemabuk di dalam mobil angkutan.Tetibanya ke Pohuwato, kami pun turun di jalan dekat sekolah SMK.

Aku bersama ayah berjalan menuju rumah. Kala itu belum ada yang namanya bentor[2] masih ojek. Jadi, kami memilih jalan kaki.

Astaga! Ternyata perjalanan masih jauh, membuat kaki menjadi pegal, dan terasa mau patah. Untungnya aku sempat membawa kue dan aqua botol. Jadi, masih ada pengganjal perut keroncongan.

Sekitar dua jam kami berjalan kaki, betapa jauhnya jarak perjalanan itu. Tak terasa bulir-bulir keringat pun jatuh berderai membasahi permukaan kulit.

 Sehingga membuat tubuh basah semuanya. Bayangin saja perjalanan selama dua jam tanpa menggunakan kenderaan sama sekali. Kayak mau kembali ke zaman penjajahan dahulu ya. Hehe.

Tak kusangka luar biasa perjuangan seorang ayah, begitu gigih mencari lahan sampai segitu jauhnya. Demi mencari sumber kehidupan bagi kami keluarga.

 Sehingga ibu pun ikutan tinggal bersama ayah. Betapa letihnya kaki ini berjalan sejauh mata memandang.

Di sepanjang  jalan aku enggak banyak komentar dan enggak banyak bicara. Bagiku ayah tipenya enggak banyak bicara. Tak terasa kami tiba di rumah.

Tinggal di bawah pegunungan dan rumah gubuk, enggak ada listrik,  jaringan, sunyi senyap, dan tetangga pun berjauhan sekitar satu kilo meter dari rumah.

 Rumah itu ditemani ternak ayam, sapi, dan anjing. Pada saat itu sudah musim panen jagung muda. Aku enggak kaget tinggal di rumah orang tua di pelosok itu.

 Yang penting tinggal bersama ibu tersayang. Ibu sangat senang aku datang untuk berliburan bersama mereka. Pada saat liburan sebulan itu adalah liburan puasa.

Jadi, kesempatan aku berlibur bersama mereka tercinta. Aku menikmati pemandangan hamparan kebun, hampir mencapai dua hektar tersebut.

Dengan ditanami sayur kacang panjang, terung, kacang tanah, dan jagung. Malam hari penerangan rumah hanya menggunakan botol minyak tanah.

Setiap paginya aku memberikan makanan ayam begitu banyak dan besar-besar. Pokoknya seru banget setiap pagi kayak gitu. Bahkan siang pun memberikan makanan para ternak itu asyik dan bisa menjadi hiburan.

Karena ayam itu jarang disembelih. Selesai memberi makanan ayam. Aku pun membantu ibu mencari air, sambil membawa galon dan timba air ditengteng pada bahu.

Kebetulan sumurnya di dekat sungai, air sangat jernih dan dingin. Maklum banyak pohon. Aku bersama ibu tercinta mencari kayu bakar dan memindahkan sapi istilah orang Jawa itu (angon) untuk dicarikan rumput-rumput di tepi sungai.

Lihat selengkapnya