“Allah masih memberikan ujian kepada manusia bukan Dia membencimu, tetapi berbaik sangkalah kepada-Nya. Di balik ujian itu akan mendapatkan hikmah yang terbesar yang kita belum ketahui. Cukup sabar dan berdoa.”
Pada saat aku mau pulang ke desa Sidomulyo,[1] (tempat kelahiranku). Bersama kakak dan kakak iparku. Begitu sedih mau berpisah dengan ibu.
Ibu pun menangis sambil membelai kepala ini, karena beliau sayang padaku. Ibu, Engkaulah malaikat bagi anak-anakmu!
"Sabar ya, Nak. Semoga kamu cepat sembuh dan sehat. Ibu kasihan padamu, Nak." Ucap ibu padaku begitu tulus. Tanpa terasa bulit air mata pun telah menetes di kedua pipi.
Aku pun memeluk ibu begitu erat dan pamit pulang. Tanpa terasa bulir-bulir bening menetes di pipi begitu deras. Seakan enggak akan bertemu kembali.
Aku pun pamit kepada ayah.Terasa berat rasanya meninggalkan ibu. Namun, apa daya harus pulang ke Sidomulyo, karena sebentar lagi mau sekolah.
Tetibanya di Sidomulyo aku kambuh lagi dan banyak tetangga menjenguk. Para tetangga pun merasa iba melihat kondisi pada saat itu. Bersyukur mereka masih memedulikanku.
Tubuhku begitu kurus tinggal tulang-belulang yang kelihatan.Wajah begitu pucat. Kakak memanggil Ibu Mantri datang ke rumah untuk menyuntik. Agar cepat sembuh.
Aku sangat berutang budi pada Ibu Mantri itu. Semoga beliau bisa sehat-sehat dan diberkahi rezekinya. Aamiin Yra.
Pada siang hari mulai makan walau hanya sedikit. Para kakak terkumpul semua. Aku sangat senang dan bahagia bisa berkumpul bersama mereka. Sehabis makan tiba-tiba dada terasa panas dan sesak.