Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #2

Prolog

“Lantas, agamamu apa?” Kata kawan itu dalam dialek Tobelo.

Aku tersenyum. “Aku nggak heran kau bertanya tentang itu. Pertanyaan-pertanyaan macam, ‘agamamu apa?’, ‘kamu, non, ya?’, ‘kamu Kristen, kan?’ sudah sering kuterima, Kawan,” kataku, juga dalam dialek Tobelo.

Kawan yang duduk bersanding denganku itu mengernyit lalu menenggak isi botol botol hijau itu lagi. Kutatap ia sungguh-sungguh, jakunnya timbul tenggelam, seolah dapat kulihat aliran bir mengalir sepanjang tenggorokannya. Sejenak lalu, ia meletakkan botol itu di atas meja lantas menatapku dengan ratusan tanda tanya yang tampak di mataku merupa jerawat pada wajahnya. “Kau jawab apa saat diberi pertanyaan itu, Billy?”

“Senyum ringkih,” kataku.

“Senyum ringkih?” Tanda tanya semakin banyak pada wajahnya.

“Ya. Senyum ringkih atau senyum joker atau senyum mulut terkatup atau senyuman yang dipaksakan. Senyum yang nggak pantas disebut senyum, bahkan sebagai senyuman basa-basi. Jika ditanya dan aku malah tersenyum selebar Joker, artinya aku sedang nggak nyaman.”

Kawan itu mengangguk. “Bagaimana kalau orang Kristen yang bertanya?”

Kujawab pertanyaan kawan itu malah dengan lanturan tentang kemunafikan ateisme, agnostisisme, serta orang beragama. Setelah banyak kata, aku tak menjawab pertanyaannya.

Kawan itu mungkin mengerti, ada yang kusembunyikan. “Jadi apa keyakinanmu yang sebenarnya, Billy?”

Sekali lagi, aku menjawab pertanyaan kawan itu dengan lanturan yang lebih panjang. Bahkan, saking jauhnya lanturanku, pidatoku pun mulai dari puisi Subagio Sastrowardoyo, filsafat, sampai agama di Uni Soviet, tanpa berniat menjawab pertanyaan sederhana kawan itu: “Apa keyakinanmu?” Mungkin karena aku sudah mabuk, mungkin karena aku takut menjawab pertanyaan itu.

Lihat selengkapnya