Ya, seperti lazimnya orang yang hatinya patah berkeping, aku juga punya tembang mutiara yang kuputar berkali-kali sembari merenungi tragisnya nasib hati. Bahkan di hari-hari patah hati itu aku membuat sebuah daftar putar khusus yang berisi kumpulan tembang yang mengingatkanku kepada Aina.
Tembang di dalamnya bermacam, mulai dari tembang biduanita asal Tennessee, Miley Cyrus, yang menurut Aina—mungkin—satu-satunya diva yang segenerasi dengan kami, kelahiran 90-an. Saat bersama Aina, aku cenderung tak menyukai biduanita itu karena sikap dan pandangan politiknya. Namun, aku ingat Aina pernah bilang, “Pisahkan karya sama penciptanya, Mas. Coba, deh, kamu dengar Miley Cyrus sebelum album Bangerz. ” Kuiakan saja, tapi saat itu aku belum berminat. Baru saat hidupku tanpa Aina, aku menurut sarannya. Ternyata aku jatuh cinta pada banyak lagu Miley Cyrus. Mungkin karena lagu-lagu Miley Cyrus sebelum album Bangerz memang luar biasa atau mungkin aku hanya menjadi orang patah hati biasanya, melakukan aktivitas yang disukai si dia.
Goodbye adalah lagu Miley Cyrus yang paling kusukai. Lirik lagu itu benar-benar bercerita tentang aku setelah hidup tanpa Aina. Hidupku berulang dalam sebuah rutinitas yang kubenci dan kunikmati pada saat yang sama. Bangun pagi aku langsung memikirkan Aina, dan detik itu juga aku langsung membuka galeri ponsel untuk melihat foto Aina dan swafoto kami di sana, seterusnya aku berpindah ke profil Facebook Aina di mana masih ada foto kami di beranda, aku senang sekaligus sedih, kami hanya bersisa sebagai gambar digital. Setelah itu aku baru beraktivitas, apabila aku sedang sangat sibuk, Aina kadang-kadang hilang dari pikiranku. Kadang-kadang. Saat merenung seorang diri atau akan beranjak tidur, aku mengulang kegiatan yang sama, kembali ke galeri dan profil Facebook Aina. Seperti penggalan lirik lagu Goodbye, aku tidak keberatan dengan semua memori yang hidup saat aku memandangi Aina lewat foto-foto itu, dan aku pun tak keberatan menghabiskan waktuku dengan cara seperti itu. Namun, ada satu kenangan kami yang ingin kuhapus dari pikiranku karena kenangan itu yang paling sering pulang kepadaku. Kencan terakhir kami di Jakarta. Aku ingin itu tak pernah terjadi. Aku ingin memberi selamat tinggal yang lebih baik kepada Aina. Aku ingin Aina ada di sisiku saat aku menikmati senyum manisnya di galeri ponselku dan mengunjungi profil Facebooknya. Aku ingin selamat tinggal itu bisa kami kenang sampai di ranjang kematian. Aku ingin Aina adalah wanita yang berada di sisi ranjang kematianku. Aku ingin selamat tinggal itu lebih dari sekadar kami makan berdua di Kedai Rasa Abadi lalu berkeliling Jakarta. Aku ingin berkencan setiap malam dengan Aina. Aku ingin selamat tinggal itu lebih dari sebuah puisi yang bahkan tak sempat kusunting. Aku ingin puisi Tak Ada Cinta, Kecuali Jakarta tak pernah ku tulis. Ya, memang membingungkan. Aku ingin memberi selamat tinggal yang lebih baik tapi aku sebenarnya tak pernah siap mengucapkan selamat tinggal itu. Aku bingung dengan apa yang kurasakan. Dan itu yang membuat lagu Viva La Vida ada di dalam daftar putar patah hatiku.