SEJAK DULU YOGYAKARTA selalu istimewa bagiku. Namun, setelah kunjungan pada penghabisan bulan Mei itu, ada yang kutinggalkan di sana: sebuah penyesalan.
Kali itu, aku datang ke Jogja untuk menghadiri pernikahan anak Om Jam Tangan yang diputuskan tetap dilaksanakan karena ‘wasiat’ si mati kepadaku. Mama seharusnya menyertaiku ke Jogja, tapi karena kesehatan mama yang belum pulih benar, kularang pergi. Penyesalan memang lekat dengan kemudian dan keputusan yang salah. Andai saja mama menyertaiku, bisa jadi peristiwa itu tak pernah terjadi, meski kenyataannya ketidakikutsertaan mama tak ada kaitannya dengan peristiwa itu, aku hanya menyesali pengkhianatan itu.
Di Jogja, seperti biasa, hari-hariku ditemani seorang kawan yang berbagi desa asal dengan papa, Kecere. Nama itu yang tersemat pada daftar kontak ponselku. Kecere adalah sapaan, bukan nama sebenarnya. Aku yang pertama menyebut kawan itu Kecere sampai semua orang pun memanggilnya begitu. Kecere adalah akronim dari penulis kece tapi kere. Semula Kecere menolak kusapa demikian, tapi kemudian ia pasrah, karena mungkin ia sadar bahwa, kece tapi kere adalah penggambaran paling tepat untuknya. Ia kece secara pemikiran, tetapi kere secara penghidupan. Saat itu ia bekerja di sebuah peternakan ayam, dan katanya baru akan berhenti saat ia benar-benar menjadi penulis atau filsuf.
Dari dulu ia menolak kuajak ke Jakarta, katanya ia mencintai Jogja dan ingin hidup di Jogja saja. Tapi aku tahu, alasan ia enggan bekerja denganku karena katanya tak ingin mengorbankan idealisme dan nasionalismenya. Kawan ini membenci apa yang Om Jenderal lakukan.
Pemuda kurus, lusuh, dan hanya memiliki sedikit semangat hidup itu pernah bilang padaku bahwa ia merasa dilahirkan sebagai penulis, meski tulisan-tulisannya selalu disepelekan penerbit, dari yang kapitalis sampai proletar. Kecere sempat frustasi karenanya. Saat ia bercerita kepadaku tentang rasa frustasi itu, kujawab bahwa aku sepakat dengan penerbit-penerbit yang menolak tulisan Kecere karena hanya satu dari sepuluh tulisan Kecere yang pantas diterbitkan sebagai fiksi, “Novel-novelmu ini isinya cuma pemikiran. Kalau cuma ingin terlihat pintar, jangan tulis fiksi!”