Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #9

Ngobrolin Tuhan

USAI PESTA, AKU mengajak Kecere untuk ikut bersamaku ke hotel. Aku lelah menghabiskan malam-malamku dengan merindukan Aina. Belum sampai 30 menit mengobrol di balkon, Kecere mengusulkan agar kami menghabiskan malam itu dalam lingkaran. Meski awalnya aku ingin menolak karena teringat seminar kesehatan Aina, tapi ujungnya kusanggupi usulan itu. Aku lelah menghabiskan malam-malamku dalam sadar sementara pikiranku pergi ke antah berantah. Mendapat persetujuanku, Kecere pergi mencari captikus (minuman tradisional beralkohol dari daerah kami) yang sebenarnya sulit ditemukan di perantauan. Tak selang lama, ia kembali dengan beberapa botol captikus dan banyak sekali botol bir.

Di dalam lingkaran, kami bicara tentang banyak sekali hal. Dan seperti biasanya obrolan dua pria dewasa mabuk, obrolan kami pun sampai pada topik yang melampaui filsafat: agama dan Tuhan. Barangkali karena terlalu mabuk, dan omonganku yang cukup kontroversial tentang agama, Kecere akhirnya mengajukan satu pertanyaan: “Lantas, agamamu apa?” Kata kawan itu dalam dialek Tobelo.

Aku tersenyum. “Aku nggak heran kau bertanya tentang itu. Pertanyaan-pertanyaan macam, ‘agamamu apa?’, ‘kamu, non, ya?’, ‘kamu Kristen, kan?’ Memang sering kuterima, Kawan,” kataku, juga dalam dialek Tobelo.

Kawan yang duduk bersanding denganku itu mengernyit lalu menenggak botol hijaunya lagi. Kutatap ia sungguh-sungguh, jakunnya timbul tenggelam, seolah dapat kulihat aliran bir mengalir sepanjang tenggorokannya. Sejenak lalu, ia meletakkan botol itu di atas meja lalu menatapku dengan ratusan tanda tanya yang merupa jerawat pada wajahnya. “Kau jawab apa saat diberi pertanyaan itu, Billy?”

“Senyum ringkih,” kataku.

“Senyum ringkih?” Tanda tanya semakin banyak pada wajahnya.

“Ya. Senyum ringkih atau senyum joker atau senyum mulut terkatup atau senyuman yang dipaksakan. Senyum yang nggak pantas disebut senyum, bahkan sebagai senyuman basa-basi. Jika ditanya dan aku malah tersenyum selebar Joker, artinya aku sedang nggak nyaman.”

Kawan itu mengangguk. “Bagaimana kalau orang Kristen yang bertanya?”

“Seorang pendeta pernah bertanya tentang imanku, kujawab saja: ‘Orang Nazareth itu cukup keren, beken, dan kompeten untuk menjadi tokoh sejarah yang punya sekian milyar pengikut sampai sekarang.’”

“Serius?” Mata kawan itu menyipit, tanda tanya itu jadi jutaan.

Aku tertawa. “Bercanda, Kawan. Jika ada yang bertanya tentang imanku, jawabanku selalu sama, senyum joker.”

“Billy.” Suara kawan itu serak dan lirih. “Apa kau seorang ateis?” Milyaran sudah tanda tanya itu bertebaran pada wajahnya.

Aku diam sebentar. Saat itu kami sedang duduk di balkon hotel dan tatapanku bebas menuju langit Yogyakarta yang mendung. Awalnya ragu, tapi aku bilang saja, “Aku bukan orang beriman. Bukan seorang ateis juga. Lagi pula menjadi ateis itu bikin rugi. Ateisme itu kepercayaan kelas dua, Kawan! Di Indonesia, ateisme itu kepercayaan untuk para amatir agar tampak seperti satu pohon flamboyan di antara ribuan pohon beringin. Topeng untuk keren-kerenan. Ateisme itu kepercayaan orang yang nggak percaya diri.”

“Maksudnya?”

“Aku nggak suka kepercayaan yang sifatnya antitesis.”

“Maksudnya?” Kawan itu memperbaiki posisi duduk.

“Aku terlalu mabuk untuk menjelaskannya.”

“Apa kau seorang agnostik, Billy?”

“Agnostisisme itu kepercayaan orang munafik. Untuk kasus di Indonesia, agnostisisme dan ateisme itu sama saja, hanya antitesis dari agama konservatif. Kebanyakan agnostik yang pernah kutemui di negara ini adalah para pemalas yang sebenarnya ingin beragama dan ingin punya Tuhan, tapi—.”

“Tapi?”

“Penganut agnostisisme adalah orang-orang pemalas. Dan kepercayaan macam itu cocok untuk abad 21; abad bagi orang-orang yang selalu tuntut hak tapi emoh bertanggung jawab. Orang yang ingin hura-hura, zina, narkoba, nikmati fana dunia, tapi ‘sudah mati ingin masuk surga. Empat dari lima agnostik yang pernah kutemui di sini, biasanya masih ingin percaya Tuhan. Masalahnya, beragama itu aturannya banyak, kewajibannya banyak. Jadi mereka ambil jalan tengah saja; berharap kalau hati kecilnya masih percaya maka mereka tetap diterima Tuhan saat mati nanti. Mereka bilang Tuhan mustahil dijangkau, mustahil diketahui, tapi diam-diam mereka memikirkan Tuhan, dan sosok Tuhan di kepala mereka adalah Tuhan konservatif milik agama-agama umumnya. Menurutku, kalau kau nggak punya kecenderungan autisme, jangan deklarasi kau seorang agnostik apalagi ateis, lagi pula kau seorang yang lahir di Indonesia dan dicekoki konsep ke-Tuhan-an sejak bocah. Deklarasimu itu membuat kau tak lebih dari seorang munafik. Sebagai keyakinan antitesis, di Indonesia ini para penganut ateisme dan agnostisisme itu selalu memikirkan Tuhan Konservatif.” Kuberi jeda dengan menenggak botol bir di tanganku sembari berpikir untuk menjawab pertanyaan kawan itu secara terselubung. “Begini, Kawan, ada adagium klasik yang bilang: tidak masalah kau punya kemaluan, masalahnya baru ada ketika kemaluanmu itu kau keluarkan dari celana lalu kau pamerkan di jalan-jalan.” 

“Aku sama sekali tak mengerti arah pembicaraanmu. Memang, apa yang kau bilang itu ada benarnya, tapi entah kenapa aku merasa cara berpikirmu tentang dua hal itu mungkin keliru.”

“Mungkin. Tapi begitulah para agnostik dan ateis bukan autis yang kutemui di sini. Agnostik di sini biasanya tumbuh dalam keluarga yang taat beragama, lalu kenal satu dua pemikir Kulit Putih yang menjustifikasi hedonisme dan mendukung manusia agar bebas seperti binatang, lalu mereka terpesona dengan salah satu dari sekian pemikir itu, lalu mereka ingin menjadi orang Kulit Putih, lalu semakin lama mereka merasa telah menjadi orang Kulit Putih, lalu mereka lebih nyaman mengungkapkan gagasan dengan gabungan kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia seperti anak usia lima tahun kurang gizi yang nggak bisa mengolah kata menjadi kalimat yang baik dalam satu bahasa, lalu puncaknya mereka bilang, ‘saya agnostik.’” Tawaku pecah di akhir kalimat.

Lihat selengkapnya