SEBUAH PANGGILAN MEMBANGUNKANKU saat hari telah beranjak cukup tua. Hal pertama yang terlintas di pikaranku adalah Aina, lalu sekilas muncul potongan obrolanku dengan Kecere tentang agama semalam, lalu pikiranku berpindah tentang mimpi undian. Namun, dering teleponku langsung membuyarkan semua khayalanku. Aku bangkit dengan sempoyongan.
Mama bertanya banyak hal tentang pernikahan malam sebelumnya, aku menjawab sekadarnya saja karena separuh kesadaranku masih dibius alkohol. Kesadaranku membaik ketika mama berkata, “Tadi malam ada Aina?”
“Maksud mama?”
Mama diam agak lama. “Kemarin mama lihat Facebook, Aina lagi di Solo, siapa tahu mampir ke Jogja, Aina kan diundang.”
Kesadaranku penuh seketika, dan aku bangkit dari ranjang. Aku penasaran sekali, tapi aku tak berkata lagi. Setelah sambungan putus, aku beranjak ke kamar mandi lalu duduk merenung di balkon. Jogja mendung hari itu. Aku membuka ponsel untuk melihat galeri ponselku yang hampir seluruhnya berisi wajah Aina dan hasil swafoto kami. Setelah itu, aku mengunjungi profil Facebook Aina. Sudah kukatakan, sejak perpisahan kami, itulah rutinitasku. Hampir setiap hari aku mengunjungi profil Facebook Aina tapi tak pernah ada unggahan terbaru. Mama mustahil berbohong soal itu, satu-satunya kemungkinan adalah Aina menyembunyikan fitur cerita atau unggahannya dariku. Meski begitu, selalu ada rasa bahagia setiap kali mengunjungi profil Facebook Aina, sebab foto-foto kami masih terpajang di sana.
Lantaran rindu terlalu mencekik, aku lalu membuat akun Instagram, berharap Aina lebih aktif di sana. Baru saja akun Instagram baru atas namaku telah siap digunakan, muncul keraguan untuk mengikuti Aina. Mungkin saja dengan menekan satu tombol, kami kembali seperti semula, dan apa yang terbaik untuk kami, berpisah, tak pernah terwujud. Akhirnya, kuhapus saja akun Instagram itu, kemudian segera berdiri dari kursi dengan kedua tangan memegang pagar balkon dan mataku memandang jauh ke atas, ternyata langit telah sangat tua. Angin sore Jogja serasa membelai lembut wajahku, aku menutup mata dan menikmatinya, belaian angin pada wajahku terasa nikmat sekali. Saat itu, seketika aku seperti seorang tuli, tak ada suara yang terdengar dalam kegelapan. Aku, imajinasiku, dan angin sore Jogja seakan lebur dalam satu dunia yang sangat sepi.