AKU PERNAH BILANG sebelumnya bahwa, Yogyakarta selalu meminjam sesuatu darimu sehingga kau merasa harus pulang lagi ke sana, untuk mengambil sebagian darimu yang tertinggal di sana, sesuatu yang ketika kau temukan kembali, telah menjadi puing peristiwa yang hanya bisa kautengok lewat ingatan. Brouwer menyebut bahwa Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, ia benar, sayangnya ia tak sempat mengucapkan sesuatu tentang Yogyakarta, tapi aku yakin, Brouwer mungkin akan sepakat dengan kutipan yang pernah kulihat di Facebook: Yogyakarta lahir ketika Tuhan sedang merindukan seseorang.
Saat kasmaran, datangilah ke Jogja, kota itu sangat istimewa bagi mereka yang sedang kenyang cinta, tapi jangan ke Jogja saat patah hati atau lapar kasih sayang, karena kota itu terasa jahat, laknat, dan bangsat bagi yang baru saja kehilangan dan merasa sendirian.
Saat itu kesepianku telah memuncak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan karena tak tertahan lagi, aku meninggalkan balkon, mengganti pakaian, lalu keluar hotel secepat mungkin. Niatku sore itu adalah lepas dari kungkungan sepi di kamar hotel dengan berkeliling tanpa tujuan. Tapi, di dalam mobil aku masih merasa kesepian karena tetap berada dalam suatu ‘ruang’, kuputuskan menuju indekos Kecere. Tiba di sana, Kecere belum pulang kerja. Kutemui hanya seorang kawan, kusebut ia, Agem (Anak Gembala). Agem sedang berbaring di kasur yang diletakkan begitu saja di lantai, serius menatap ponselnya sampai tak menyadari kedatanganku. Saat melihat satu kotak obat batuk di sampingnya, aku curiga. Dan memang, setelah bercakap-cakap sebentar, gelagatnya membuktikan dugaanku, kawan itu ‘terlalu tinggi’ untuk diajak bicara. Aku ingin menamparnya sebagaimana harus kulakukan saat memergokinya ‘sedang tinggi’, tetapi aku seolah kehilangan tenaga karena kesepian yang memabukkan.
Lantaran tak punya tujuan lagi dan di dalam mobil membuat aku merasa semakin kesepian dalam satu ruangan, aku meminjam motor Agem untuk keliling Jogja, ia mengiakan saja. Aku tahu, Agem tak menyadari aku siapa, karena matanya berisyarat bahwa ia sedang dipengaruhi lebih dari satu jenis zat, bukan saja dari obat batuk itu.
Dengan motor Agem, aku keliling Jogja tanpa tujuan yang pasti, berkendara dengan alam bawah sadarku sementara alam atas sadarku melayang ke sana kemari. Kesadaranku penuh hanya saat lampu merah terpajang di perempatan atau pertigaan, dan saat berhenti aku pasti mengamati kiri-kananku. Di sebuah angkringan pinggir jalan dekat lampu merah, tampak sepasang muda-mudi sedang saling menyuapi. Aku marah melihat manusia-manusia laknat itu. Tak hanya di situ aku menyaksikan romantisme di jalanan Yogyakarta, sebab selalu saja ada muda-mudi berboncengan di sekitarku, dan tampaknya kebanyakan adalah sepasang sebab tangan yang wanita melingkari perut si pria. Aku tak tahu mengapa, tapi malam itu rasanya semua orang di Jogja kelihatannya berpasangan, berduaan, bermesraan, seakan-akan hanya mereka yang hidup di dunia ini, seakan-akan mereka hidup hanya untuk dicintai dan mencintai. Alah! Tai! Muda-mudi itu merasa seolah mereka akan menikah sebentar lagi, punya anak, dan hidup bahagia sampai maut memisahkan. Seolah-olah mereka bisa selamat dari penderitaan dunia hanya dengan mencintai dan dicintai. Dasar amatir! Naif! Bangsat!
Sedang aku marah-marahnya kepada Yogyakarta, di pertigaan sekitar Stasiun Tugu, sedang aku menunggu lampu merah ganti warna, persis di samping kananku, berhenti sebuah motor, isinya dua orang, sepasang seperti biasa; satu tangan wanita melingkari perut si pria sementara satu tangan yang lain memegang permen bertangkai. Baru saja motor mereka berhenti, yang wanita langsung menodongkan tangkai permen ke mulut yang pria, dan mereka tertawa karena si pria kaget mulutnya ditodong begitu. Si pria berkata, “Pelan-pelan, Sayang, aku kaget, loh. Kalau kita kecelakaan, nanti kamu yang sakit. Aku nggak mau kamu sakit.”
Tai! Aku muak melihat mereka, muda-mudi yang menampakkan cinta di jalan-jalan memanglah laknat. Apa mereka tak tahu ada yang patah hati saat itu! Tai! Tai! Tai! (Sl: bila kuingat lagi kejadian itu, kuakui, aku sedang merana, dan hanya orang merana yang menggerutui kemesraan orang lain sebagai kealaian yang hakiki. Orang yang benci melihat kemesraan sepasang kekasih adalah orang-orang kesepian dan paling menginginkan kemesraan itu. Dan itu aku saat itu).
Selama di perempatan itu, aku terus menggerutui dua orang kurang ajar itu, aku meminta kepada semesta agar secepatnya salah satu dari mereka selingkuh dan membuat yang lain patah hati agar mereka merasakan apa yang kurasakan. Lebih baik lagi jika mereka menikah secepatnya lalu beberapa bulan kemudian, si pria mengaku kalau ia sudah punya istri di kampung atau si wanita yang mengaku bahwa ternyata anak di kandungannya adalah anak orang lain. Bukannya apa-apa, kesepianku sedang memuncak dan orang-orang itu malah tak punya welas asih. Aku tahu, Jogja adalah tempat merayakan cinta, tapi jangan juga kurang ajar begitu kepada yang sedang menderita. (Sl: sesudah kunjunganku kali itu, aku semakin yakin, bahwa jangan pernah ke Jogja saat sedang patah hati! Terlalu banyak romantisme di sana, kau tak akan tahan. Hati yang patah akan jadi abu di Daerah Istimewa Yogyakarta).
Sampai kemudian, saat berada di Jalan Solo. Kuputuskan terus menuju daerah Kalasan untuk menyapa beberapa kawan. Akan tetapi, sedang berhenti di sebuah pertigaan, di hadapanku persis, seorang wanita berambut sebahu membelakangiku. Jelas itu bukan Aina, tapi tampak dari belakang wanita itu mirip Aina. Lantaran penampakan wanita itu, aku mengubah tujuanku, aku terus menuju Bukit Bintang dan Hutan Pinus, ingin menapak tilas perjalananku bersama Aina sebelumnya.