Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #13

Pelarian Sesaat

BENDA-BENDA ITU yang menyambutku saat aku tiba di kamar hotel: televisi yang mati, ranjang yang berantakan, laptop yang terbuka di atas meja, serta benda-benda mati lain yang tak bisa diajak bicara. Kesepian masih saja terasa mencekik, persis saat aku meninggalkan ruangan itu, rasa-rasanya kesepian betah mengekoriku, di segala ruang di mana aku ada, di situ sepi tinggal.

Selang menit aku tiba di hotel, Kecere mengabari bahwa ia sedang berada di Bantul dan berjanji akan segera berkunjung bila sudah kembali ke Jogja mendekati subuh. Aku tersenyum saja membaca pesan Kecere lalu beranjak ke balkon. Di sana ada belasan botol bir kosong berdiri di sekitaran kaki meja. Ditambah dua botol air mineral kemasan (botol captikus) di atas meja kayu, yang satu masih berisi. Agak lama aku berpikir, mencari cara menghabiskan malam itu agar tak kesepian. Akhirnya, kuputuskan berada dalam lingkaran seorang diri. Besar kemungkinan Kecere tak akan datang subuh nanti. Aku kenal betul wataknya.

Dengan beberapa botol bir dari dalam kulkas dan captikus sisa semalam, lingkaran terbentuk. Kutenggak bir-bir itu seolah air putih, setiap botol langsung kosong dalam sekali tenggak; captikus yang kutenggak sedikit demi sedikit sebab aku tak cukup kuat melakukannya sekali tenggak, dan kukira tak banyak manusia yang bisa melakukannya dalam sekali tenggak. Selama aku minum seperti orang kesetanan, tak ada rasa mual sama sekali, tubuhku sadar bahwa yang harus dimuntahkan dari dalam adalah kesepian dan terkaan akan masa depan yang kuakui memang berlebihan.

Aku terus sendiri dalam lingkaran sampai dekat tengah malam, sampai alkohol telah benar-benar merampas separuh kesadaranku, dan membuat pikiranku lebih leluasa berkelana, membuat aku semakin kesepian. Isi kepalaku hanya Aina dan Aina. Peristiwa di rumahku malam itu kadang turut serta, membuat Tom gelisah, membuatku harus bangkit dari kursi untuk mencari korek kuping agar Tom tenang. Namun, belum sempat aku berdiri tegak, aku hampir saja jatuh tersungkur, penglihatanku oleng, jantungku mungkin hanya memompa alkohol di dalam sana, bukan darah lagi. Agar mencari keseimbangan supaya tak roboh, aku tetap berdiri sementara kedua tanganku menggenggam pagar balkon, sedang jangkauan mataku seluas-luasnya mencari sesuatu di langit Jogja yang tampak kabur. Saat aku menggerakkan kepala mencari keretan, semua benda di sekitarku agak berputar-putar. Saat itu, kenyataanku oleng tapi imajiku stabil. Dua nama langsung muncul dalam pikiranku, Aina dan Teteh.

Aku duduk lagi, sigaret membara, dan perhatianku terpaku layar ponsel untuk mencari rangkaian pesan dengan Teteh bertahun-tahun lalu. Kontaknya tak kusimpan, tapi rangkaian percakapan itu masih ada.

(Tersambung)

“Halo?”

“Halo?” Suara yang akrab menjawab.

Kami basa-basi sebentar. Satu jam berselang, wanita itu tiba di kamarku.

 

Seranjang bersama Teteh tak senikmat dulu. Bentuk tubuh telanjangnya, bicaranya, dan caranya memperlakukanku masih sama. Hanya, aku yang mungkin telah berubah sejak terakhir kali kami satu ranjang. Sempat beberapa detik Tom bangkit dari tidur, meski ia tak sempat membatu. Susah sekali Tom diajak kerja sama malam itu. Aku seperti remaja gugup yang datang ke tempat prostitusi pertama kalinya, jantungku berdetak kencang sekali.

Sekian menit kami berusaha, aku sadar, kegugupanku akan membuat Tom akan terus terlelap. Rasa gugup dan syahwat seperti terang dan gelap, mustahil terjadi bersamaan. Malam itu, Tom tak ingin melakukannya, sementara pikiranku terbagi dua, syahwat bilang ya, hati menolak. Dan semakin lama kami berusaha, aku malah sadar, aku memanggil Teteh karena aku ingin dipeluk, hanya ingin dipeluk, kesepianku sudah lewat batas wajar.

Aku yang kemudian menyerah untuk berusaha, sementara Teteh terus berusaha dengan mengepal Tom yang lemah dalam genggamannya seraya memijatnya pelan, tapi Tom emoh bangun, barangkali ia kadung nyaman bermain dengan jari-jemari Aina.

Beberapa kali Teteh sempat mendekatkan bibirnya dengan bibirku, tapi aku memalingkan wajah; Teteh juga ingin mencium kepala Tom, tapi aku menariknya ke atas. “Nggak usah, langsung ‘aja,” kataku.

Aku tak ingin kenikmatan yang mulut Aina berikan terakhir kalinya kepada Tom akan tergantikan oleh mulut wanita lain. Setelah beberapa saat, keadaan amat canggung di ranjang itu. Aku bersikap seolah menolak, sementara Teteh terus berusaha. Sampai dia telanjang pun Tom tetap tidur lelap. Aku tak tahu apa yang kumau saat itu. Pikiranku bercabang taksa.

Kesekian kalinya Teteh berusaha, Tom tampaknya akan siuman. Teteh akhirnya bisa memasangkan jaket untuk Tom, dan mengolesi cairan andalannya di tempat biasa.

Pada akhirnya, aku bisa berkata seperti biasa, “Boleh, nggak?” Dan jawaban Teteh selalu sama seperti bertahun-tahun lalu: “Malam ini, badan ini punya kamu.”

Aku tersenyum. Rasanya seperti déjà vu. “Coba ngomong sekali lagi!”

Teteh tersenyum. Dia mengerti. “Malam ini, badan ini punya kamu, Billy.”

Setelah itu, kupandu Tom untuk mendekati sasarannya dengan ragu-ragu, tapi baru saja menyelam sebentar, Tom kisut lagi. Dan saat itu aku benar-benar menyerah. Pikiranku terlalu banyak.

Tanpa menghiraukan Teteh yang terbaring dengan senyumannya, aku bangkit lalu duduk di sisi ranjang. Teteh mengikuti, duduk di sampingku. “Kamu kebanyakan minum, Sayang,” katanya sambil membelai pipiku. “Kamu ada masalah? Mau cerita?”

Aku menggeleng. “Nomor rekeningnya masih yang lama?”

“Nggak perlu. Aku nggak kerja lagi.”

Lihat selengkapnya