TENGAH MENCARI KAK N. di dalam tempat kopi dengan kesadaran yang masih sedikit dipengaruhi alkohol, hal pertama yang menarik perhatianku ketika menemukan Kak N. adalah jepit rambut kecil warna biru muda yang terselip di rambut Kak N., persis di atas telinganya. Aku teringat adegan di Solo ketika Miya (kemenakan Aina) yang menyerahkan jepit rambut biru muda kepada Aina ketika kami sedang mesra-mesraan di belakang rumah Mbah. Jepit rambut biru muda murahan milik Aina itu adalah hadiah permainan yang kumainkan di pasar malam waktu kencan-kencan awal kami. Sebagai seorang konservatif yang suka menyimpan barang-barang kenangan, Aina tetap menyimpan jepit rambut biru muda itu walaupun harganya mungkin cuma Rp1000 dan dijual enceran di warung. Kata Aina, “Gimana pun, ini hadiah pertama kamu buat aku, Mas.”
Setelah cipika-cipiki, kami basa-basi tentang pesta malam itu. Baru ketika kopiku tiba di meja. Kak N. berkata, “Aku pengen ngerokok, Bill.”
“Kenapa, Kak? Kerjaan?”
Kak N. mengangguk dengan senyum. Kak N. bukan perokok aktif, dia hanya ‘ngudut saat sedang sangat tertekan.
Aku mengeluarkan kotak sigaretku dan menaruhnya di depan Kak N.
“Jangan di sini.”
“Kenapa?”
“Aku nggak pernah ngerokok di depan umum.”
“Sekarang abad-21, Kak.”
“Aku nggak nyaman dilihatin orang.”
Aku paham maksud Kak N., dilihat dari tampang dan penampilannya, barangkali banyak orang akan kaget jika ada tangkai sigaret terselip di bibirnya. “Mau pindah, Kak?”
“Yuk!”
Aku dan Kak N. bangkit dan beranjak ke pintu. Aku berjalan di belakang Kak N., karena itu aku sempat melihat beberapa pria menengok ke Kak N. lantas mengikuti arah langkahnya, dan detik itu juga aku langsung menatap mata pria-pria itu. Mereka sigap membuang muka. Kak N. sudah kuanggap seperti kakakku, jadi aku agak gusar ketika ada pria menatapnya secara berlebihan. Apalagi Kak N. tampak menawan pagi itu, dia mengenakan celana jeans biru muda, berkaus putih polos yang berbalut blazer kasual abu-abu, dan beralaskan sepatu Converse putih; rambut panjangnya terurai, terselip jepit rambut biru muda di rambutnya—yang tampaknya jauh lebih mahal dari jepitan milik Aina; sementara, tangan kanannya menggenggam tali tas kulit yang menjuntai dan berayun seiring langkah, di tangan kirinya menggengam gelas kopi.
Di mobil, kami sempat bingung mencari tempat personal agar Kak N. bisa ‘ngudut. Walaupun agar ragu pada mulanya, kuusulkan kami pergi ke rumahku. Kak N. sepakat.
Sampai di rumahku, komentar pertama Kak N. “Rumah kamu aneh, Bill. Pintu depannya mana?”
Aku hanya tersenyum lalu membuka pintu garasi.
Selama beberapa saat, Kak N. jadi patung mengamati tampak depan rumah bergaya skandinavian yang aneh. Bagian depan lantai dasar tak ada pintu depan atau jendela dan tembok warna silver. Di bagian depan lantai dua terdapat sebuah balkon luas yang lebih pantas disebut teras dengan satu pintu dan satu jendela persegi panjang.
“Ayo, Kak!”
Kak N. lalu menyusulku ke dalam garasi. Lantai dasar itu adalah rubanah, luasnya cukup tempat parkir tiga mobil, dan di lantai dasar itu tampak sebuah tembok kaca yang membatasi rubanah dengan pekarangan belakang yang luas. Di lantai dasar itu pun ada tangga melingkar menuju lantai dua. Kali itu aku tak mengajak Kak N. ke lantai dua, kami langsung melewati tembok kaca dan menuju pekarangan belakang yang luas di mana ada pendopo mini, kolam renang, dan taman kecil.
Aku dan Kak N. lalu duduk di bangku kayu panjang yang menghadap taman kecil. Kukeluarkan kotak sigaret lalu menyerahkannya kepada Kak N. Dia menerimanya tanpa menatapku. Kak N. sibuk mengamati pemandangan kolam renang, pendopo mini, dan taman kecil di sekitarnya.
“Rumah kamu ini dari luar aneh, tapi dalamnya keren. Lantai dua itu kamar?” Kak N. menunjuk balkon sekaligus teras belakang yang ada di lantai dua.
“Cuma ada satu ruangan besar sama satu kamar mandi. Di situ, kamar, dapur, ruang tamu, dan lain-lain, Kak.” Setelah itu kujabarkan kondisi interior lantai dua yang bergaya industrialis, didominasi banyak kaca kotak-kotak pada tembok yang sengaja tak dicat. Usai menjelaskan, kubarakan sigaret, mengembuskan asapnya, lalu menyerahkan keretan kepada Kak N. yang masih mengangguk-angguk karena penjelasanku.
“Kamu kenapa punya rumah di Jogja? Rencana tinggal di sini?” Asap berembus dari mulut Kak N.
“Rumah ini rencananya jadi maskawin buat Aina,” kataku tanpa tedeng aling-aling dengan rencana curhatku hari itu.
Kak N. langsung menatapku. “Hah? Kamu kok nggak ngomong mau ‘nikah? Kapan kamu ‘ngelamar Aina? Kok nggak ngomong ke aku? Kamu ngelamarnya gimana? Pasti nggak romantis.”
“Aku sama Aina lagi rehat.”