Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #17

Pengkhianatan Mama

KETIKA PESAWAT MENDARAT, Tangerang baru saja diguyur hujan. Aku ingin menggerutui hujan seperti aku menggerutui muda-mudi di Yogyakarta, tapi kuurungkan, hujan permulaan Juni adalah langka.

Aku tiba di rumah saat hari sudah gelap, mama menyambutku dengan keterkejutan dan rupa-rupa pertanyaaan perihal perkawinan anak Om Jam Tangan, pertanyaan yang sebenarnya sudah diutarakan lewat telepon. Hampir setengah jamku habis untuk menjawab pertanyaan tentang enak tidaknya makanan di acara pernikahan. Selama mama bicara, yang kupikirkan adalah obrolanku dengan Kak N. sebelum aku pulang ke Jakarta dan undian itu.

Urusan dengan mama selesai, saat akan makan malam, persis saat duduk di meja makan, di bagian ujung meja sebelah sana, di dekat stoples kerupuk, tampak sebuah botol plastik kecil. Botol itu segera menarik perhatianku, botol cairan sanitasi tangan dengan huruf N, warna kemasannya biru, persis yang sering Aina gunakan.

Mama tak pernah menggunakan benda itu, dan milikku selalu kutinggalkan di mobil. Entah mengapa aku yakin botol itu milik Aina yang tertinggal. Memang, kemungkinannya ada jutaan orang yang menggunakan merek itu, dan bisa jadi salah satu dari kerabat kami yang kebetulan menggunakan botol itu datang ke rumah lalu meninggalkannya di sana, tapi aku sangat yakin, Aina sempat berkunjung ke rumah selama aku tak di Jakarta.

Aku sempat membantah pikiranku sendiri, aku hanya terlalu berlebihan memikirkan Aina, tapi kecurigaanku semakin kuat saat aku berniat tidur; begitu masuk kamar, di mejaku geletak sebuah Alkitab dan di atasnya ada foto papa. Aku masih coba membantah pikiranku, mungkin saja mama yang melakukannya, tapi ketika aku berbaring di kasur yang beberapa hari kutinggalkan, menyerbak wangi parfum Aina, aroma yang kukenal sangat baik. Ditambah, ketika aku mencium bantal, tercium aroma parfum rambut andalan Aina. Aroma itu selalu membuatku membelai rambut Aina mencium telapak tanganku setelahnya. Aroma itu seperti wewangian dari bunga atau buah, entahlah, bisa jadi wewangian itu bila dikecap rasanya mirip manisnya permen karet anggur. Aku semakin yakin, Aina sempat datang ke rumahku.

Aku kembali lagi ke ruang makan tanpa menghiraukan mama yang sedang menonton sinetron kegemarannya di ruang tengah. Kuraih botol sanitasi tangan itu dari meja makan lalu memanggil mama ke dapur. Begitu mama muncul, aku segera menginterogasi. Awalnya mama membantah tapi setelah kudesak, mama berkata, “Iya, Aina sempat datang. Mama yang minta.”

Aku diam, seketika seluruh tubuhku mengeras karena marah. Aku tak terima mama tetap berhubungan dengan Aina sementara aku harus menderita sendiri. Mama mengkhianatiku.

Lihat selengkapnya