SETELAH PERDEBATAN DI meja makan, kuputuskan untuk mogok bicara dengan mama dan akan duduk di teras, ‘ngudut sepanjang malam. Aku emoh masuk ke dalam rumah, aku emoh melihat mama. Aku kesal bukan main dan tak terima, aku begitu menderita menggerutui Yogyakarta, sementara mama bersenang-senang dengan Aina di Jakarta, seharusnya kalau mama juga sayang pada Aina, kami berdua harus menanggung penderitaan itu bersama.
Sekitar jam 10 malam, guntur bergemuruh dan aku terperanjat dan kursi yang kududuki sedikit bergeser. Suara itu terdengar seperti suara bom meledak, senjata dikokang, dan teriakan minta tolong. Seolah-olah di balik lapisan langit ada yang berperang. Tak selang lama, angin malam mengikuti, menampar daun-daun pekarangan, menggoyang batang-batang pohon dan tumbuhan, sehingga tercipta desauan di sekitarku. Akan hujan, hujan pada permulaan Juni. Sesuatu yang dulunya langka, sekarang makin biasa.
Sejurus guntur itu, gadis yang bekerja membantu mama di rumah muncul, membawakan kopi dan asbak.
“Ra, sini dulu!” Begitu dia duduk di sampingku, aku sigap berkata, “Aina sering ke sini, ya?” Kataku dalam dialek Tobelo
Dia diam, mungkin mama melarangnya memberitahu kepadaku. “Mama sudah bilang Aina sering ke sini. Nggak perlu takut sama mama,” kataku lagi.
“Bukan mama yang larang, tapi Mbak Nana yang larang kasih tahu ke Kaka’ Billy,” katanya, pelan dan ragu.
Aku menggeleng pasrah.
“Keadaan mama gimana, Ra? Masih mengeluh keram kaki?”
“Kalau itu, mungkin Mbak Nana yang tahu. Tapi, Kaka’, mama—,” suaranya tiba-tiba putus, ragu mengatakannya. “Mama sering mimpi beberapa malam terakhir ini, Kaka’. Kayaknya mimpi buruk, karena mama sering nyebut ‘Papa ... papa ... papa’.”
“Kenapa nggak kasih tahu aku?”
“Dilarang mama, katanya jangan sampai Kaka’ Billy tahu soal mimpi itu. Tapi aku juga khawatir, Kaka’. Kalau mama mimpi, kadang-kadang mama teriak sampai kehabisan suara.”
Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan teras menuju kamar mama.