Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #19

Kepahitan R.

DI TERAS, GERIMIS itu datang perlahan beriring bunyi rintik butir hujan di atap yang kian lama kian tak tahu diri. Saat itu, isi pikiranku banyak sekali, tapi yang paling utama adalah ketakutanku akan kehilangan mama. Aku belum pernah seserius hari itu membayangkan hidup tanpa mama. Aku–anak tunggal yang hidup berdua saja bersamanya selama menjadi manusia–mencintainya lebih dari apa saja yang bisa dunia berikan. Mama adalah satu-satunya orang yang kuyakini akan menyerahkan hidupnya untukku bila perlu, meski tahu semua keakuan dan laknat kelakuanku.

Semakin takut kehilangan mama, pikiranku kembali pada setelan pabriknya. Aina dan Jogja.

Mulanya aku memikirkan pengkhiatanku dengan Teteh dan bagaimana reaksi Aina nanti setelah tahu pengkhianatan pertamaku kepadanya. Apa yang terjadi di Yogyakarta tetaplah sebuah pengkhianatan meski aku dan Aina sedang berjarak. Lalu percakapanku dengan Kecere yang kebetulan bijaksana, tentang pagi sebagai kesempatan. Dan nasihat Kak N., tentang Halmahera dan undian itu. Entah kebetulan atau apa, semesta mengiakan usul Kak N. dengan ucapan mama sebelumnya, mengajak Aina untuk pulang ke Halmahera agar menemui papa. Barangkali Halmahera adalah tempat yang tepat untuk kencan terakhir kami, bukan Jakarta.

Segera kuraih ponsel, dan tatapanku terpaku pada foto Aina yang terpajang di aplikasi pesan itu, berpikir. Aku belum punya cukup keberanian untuk mendengar suara Aina.

Sedang aku bertengkar dengan diriku, ujuk-ujuk sebuah mobil hitam masuk ke pekarangan rumah. Setelah mesin mati, R. turun dengan payung lalu menghampiri pintu seberang dan mereka berdua, dia dan suaminya, masuk ke teras.

“Mama ‘udah tidur, Billy?” Kata R. seraya menutup payung.

“Coba lihat di kamar.”

R. lalu masuk ke rumah dan aku tinggal berdua dengan suaminya. Aku sigap mencium tangan suaminya R. karena usianya di atasku. Bagaimana pun, R. sudah jadi saudaraku karena hubungannya dengan mama, jadi suaminya sudah kuanggap kakak laki-lakiku. Sedang R. di dalam rumah, kami duduk dan basa-basi.

Sudah kukatakan, suaminya R. adalah laki-laki yang diidamkan banyak wanita, mapan, tampan, dan pengertian. Ia mantan atlet PON Bola Basket sehingga fisiknya gagah, tinggi, dan wajahnya pantas ‘nampang di televisi. Ia kaya raya sejak melepaskan diri dari perusahaan keluarganya. Dan meski ia tak kuliah karena harus merintis bisnis sendiri sejak lulus SMA, wawasannya luas, pengetahuan ekonominya luar biasa. Dan ia pasti pengertian, karena hanya laki-laki pengertian yang rela memilih R. sebagai istri. Secara fisik ia dan R. memang serasi, tapi dari kelakuan, aku ragu. Aku mengenal R. dan apa yang kulakukan di Yogyakarta, berulang kali R. lakukan selama bersamaku.

Tak lama, R. muncul lagi di teras. “Bi, mama ‘udah tidur,” kata R. kepada suaminya.

Suaminya bangkit, dan minta permisi kepadaku. Sebelum meninggalkan rumah kami, suaminya mendekati R. mencium mesra kening istrinya, menyalamiku, lalu meninggalkan kami. Saat itu, tak sempat terpikir untuk menggerutui mereka seperti yang kulakukan pada muda-mudi di Yogyakarta, justru aku terkejut dan penasaran. Mereka amat mesra, mengapa suaminya meninggalkan rumah kami sementara R. tetap tinggal. Saat itu, melihat mata suaminya ketika mencium R. dan mereka berpisah, tampak binar cinta yang pekat di sana, dan aku langsung merasa bersalah sempat punya pikiran menikahi R. saja jika aku dan Aina benar-benar sudah. R. dan suaminya sepertinya baik-baik saja.

 Setelah mobil suaminya hilang dari pekarangan, R. duduk di sampingku. “Bagi rokok, dong!”

Setelah sigaretnya membara, aku langsung berkata, “Kalian nggak jadi cerai, Ti?”

Mukanya layu. “Belum tahu.”

“Tadi kalian mesra banget, kenapa kamu nggak pulang-pulang?”

“Lo ‘ngusir gue, ya?” R. tertawa.

“Bukan ‘gitu, tapi kalian tadi kelihatan baik-baik ‘aja. Lagian ini rumah mama, kalau mama nggak masalah kamu tinggal di sini, aku nggak bisa apa-apa.”

R. tertawa lagi. “Mama salah satu alasan aku di sini. Aku hutang budi banyak sama mama. Mama sakit, jadi aku harus di sini. Lagian, kamu ingat, kan, omongan ayahku? Aku harus berbakti sama mama. Mama kamu itu orang tua aku juga. Sekarang aku nggak kerja lagi, aku punya banyak waktu untuk bantu mama.” R. diam sejenak. “Kalau di rumah sendiri, aku selalu ‘nangis. Kamu tahu sendiri aku beberapa kali sempat bunuh diri.”

“Suami kamu kasar?”

“Nggak. Dia sayang banget sama aku.” R. berusaha tertawa, tapi matanya berkaca-kaca. Suasana seketika dingin, melebur dengan hujan di hadapan kami yang mulai giat menyiram pekarangan.

Agar R. tak terus menyendu, aku berkata, “Ti, makasih, ya.”

“Buat?”

“Bikin mama bisa terima Aina. Kamu kan yang bikin mama dan Aina rekonsiliasi? Aina sama mama nggak pernah cerita, tapi aku tahu, malam itu di ruangan inap mama, waktu aku pergi beli sate dan kamu balik lagi karena ketinggalan barang, kamu kan yang bikin mereka baikan sampai sekarang?”

R. tersenyum. “Mama itu diam-diam suka sama Aina. Kamu ‘aja yang nggak pernah coba deketin mereka. Setelah mama tahu kalian pacaran, mama ‘minta aku untuk cari tahu siapa Aina. Dan dari awal aku ‘udah bilang ke mama, Aina orang yang tepat buat kamu. Tapi, ya, kamu kenal mama, lah. Agama nggak bisa diganggu gugat.”

“Makasih, ya, Ti.”

“Malam itu aku nggak ngapa-ngapain, aku cuma cari cara supaya mereka bisa ‘ngobrol. Waktu itu, kebetulan salah satu pemain sinetron yang mama suka itu teman SMA Aina. Aku tahu dari Instagramnya Aina. Dan malam itu, aku minta Aina telepon temannya itu. Kebetulan lagi, mama baru cerita, paduan suara di gereja lagi kesusahan ‘nulis notasi lagu baru mereka. Dan aku bilang ke mama, Aina bisa bantu karena di Instagramnya banyak postingan soal piano. ‘Gitu aja. ‘Abis itu aku tinggal mereka. Setelah itu mama dan Aina ‘ngobrol sampai sekarang.”

Sesudah itu kami tak bicara, malah menikmati hujan dalam diam sementara asap sigaret terus keluar dari mulut masing-masing.

“Billy, aku mau tanya sesuatu, kamu ‘ngerasa, nggak? Kalau di antara kita ada yang belum selesai?” R. memecah hening.

Dugaanku sejak lama benar. R. juga merasakan itu. Dan aku sigap berkata, “Ti, aku minta kamu jujur malam ini, anak itu—.” R. memotong, “Anak itu nggak aku gugurin. Aku keguguran. Dan bayi itu bukan anak kamu. Kamu nggak perlu merasa bersalah.”

“Ti, terakhir kali kita berdua ngomong serius kayak ‘gini waktu kita berantem dan putus. Aku juga tahu, itu bukan anak aku, tapi aku merasa bersalah karena aku yang merawanin kamu. Karena aku, hidup kamu hancur. Aku pernah nyakitin kamu. Dan aku belum pernah minta maaf untuk semuanya. Maafin aku, ya.”

Matanya berkaca-kaca. “Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Dan apa yang terjadi sama aku, bukan salah kamu.” 

“Kita sama-sama salah, Ti. Kita saling nyakitin.”

R. diam. Suasana agak canggung.

“Ngomong-ngomong, lu nggak sayang lagi sama gua, kan, Ti?” Kataku agak bergurau agar mencairkan suasana.

“Gue cinta banget sama suami gue, Billy!”

Kami tertawa.

“Ti, aku penasaran sama cerita yang sebenarnya sebelum dan setelah malam itu.”

“Yakin mau dengar? Maaf, ya.” Setelah itu R. bercerita secara kronologis mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Alasan mengapa dia selingkuh dariku dengan belasan pria, menjadi simpanan seorang pejabat, sampai dia akhirnya bertemu dengan suaminya. Pendek kata, setelah aku memerawaninya, segalanya berjalan seperti biasa meski saat itu aku terlalu sering mengajaknya berhubungan badan. Saat aku masuk rumah sakit karena hampir saja mati dikeroyok orang, R. baik-baik saja meski kami tak bersentuhan cukup lama. Dan setelah aku sembuh, kegiatan kami berlanjut lagi, dan segalanya berjalan seperti biasa meski mama mulai curiga. Baru kemudian, saat kuliah, saat keadaan ayahnya mulai memburuk dan butuh biaya lebih besar lagi untuk berobat, R. semakin sungkan pada mama, R. akhirnya menerima tawaran dari temannya untuk berkenalan dengan seorang pejabat. Itu pertama kalinya R. selingkuh dariku, karena uang. Kata R., si pejabat atau papi-nya itu memiliki kecenderungan seksual yang agak berbeda, pria itu suka menjadi budak di atas ranjang. Dan pria itu membuat R. mengenal seseorang dalam dirinya, dia menikmati punya kekuasaan atas laki-laki di atas ranjang dan di luar ranjang, R. merasakan kenikmatan ketika sesuatu yang dia minta dipenuhi laki-laki. Di ranjang R. menguasai papi-nya itu, di luar ranjang pun begitu, semua yang dia minta dipenuhi pejabat sialan itu, khususnya uang dan materi. Tapi, R. tak bisa seenaknya kepada si pejabat. R. masih merasa ada yang kurang, dia menginginkan lebih. Dia ingin lebih banyak laki-laki tunduk padanya dan memenuhi keinginannya. Karena itu, R. mulai mencari laki-laki lain lagi untuk dipacari, dan dengan parasnya yang memukau, dia gampang sekali mendapatkan pria-pria tolol yang mau diperintah seenaknya. Saat itu, dia berhubungan seksual hanya denganku dan pejabat itu, dan pacar-pacarnya yang lain hanyalah para budak yang dia pakai untuk diperintah. R. punya tiga pria saat itu, aku kekasih normal yang dia beri kasih sayang dan dapat kasih sayang; lalu papi-nya, untuk uang dan kekuasaan di atas ranjang; dan beberapa pria lain yang bisa dia kontrol. Singkat cerita, aku akhirnya tahu R. berhubungan dengan pria lain di belakangku, tapi aku berusaha memaafkannya. Saat yang sama, aku mulai mengekangnya.

R. menderita, aku menderita. R. beberapa kali coba bunuh diri setelah kematian ayahnya, karena itu aku berusaha untuk tetap di sampingnya, aku tak ingin kematian R. malah membuat mama menderita, terlebih aku punya janji kepada ayahnya (Sl: secara pribadi, aku tak masalah jika R. ingin bunuh diri saat itu, kehidupannya sangat berantakan setelah kematian ayahnya, bahkan aku pun menyerah dan terus merasa bersalah melihat R. menderita; saat itu aku bahkan membiarkan R. menjadi pecandu karena dengan benda itu R. tampak sedikit lebih bahagia). Kami saling menyakiti secara verbal, tak terhitung kata-kata umpatan yang keluar dari mulut kami untuk yang lain, hatiku sempat menjadi batu.

Lihat selengkapnya