Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #20

Panggilan Sayang

SUDAH DEKAT TENGAH malam dan hujan sedang bekerja sama dengan angin malam saat R. meninggalkanku seorang diri di teras. Setelah sempat memikirkan perasaan R., Aina kemudian memenuhi pikiranku lagi. Kubarakan sebatang sigaret lagi dan berpikir lagi, bimbang pada satu pertanyaan: haruskah kuhubungi Aina?

Ponsel menyala, kutatap kontak di aplikasi pesan, di mana ada foto Aina sedang tersenyum, dan rindu tak berlangit datang lagi. Menatap foto Aina, aku ingat mimpiku di Jogja dan dua undian yang mengharuskanku bertemu Aina. Aku langsung merogoh saku dan mengeluarkan koin Rp500 itu. Sejak di Jogja, aku selalu membawa koin itu di saku celanaku. Aku berkata kepada diriku. “Seperti sebelumnya saja. Burung berarti hubungi Aina sekarang. Angka berarti jangan pernah hubungi Aina. Tidak mungkin tiga kali berturut-turut selalu Burung.” Saat itu aku belum terlalu yakin mengambil keputusan hanya dengan undi-mengundi.

Koin itu berputar di udara dan jatuh di atas meja.

Burung lagi.

Tiga kali. Sepertinya semesta memang menghendakiku untuk bicara dengan Aina lagi.

Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, termasuk aku dan Aina yang mungkin nanti akan makin sulit terpisahkan, kutekan logo telepon di samping rangkaian nama, Mbak.

Tanda tunggu itu membuat jantungku memukul dua kali lebih cepat, berisik hujan membuat tubuhku tegang, gigi saling tekan. Aku gugup. (Tersambung). Detak jantungku semakin cepat.  Tanpa sadar aku meraih koin Rp500 dari atas meja dan mengepalkan tanganku, seolah-olah ingin meremukkan koin itu dengan tanganku.

Saat suara tanda tunggu berhenti, aku menarik satu napas dalam-dalam, belum berani bicara, dan penjawab telepon di sana bisu. Saat itu, tanganku terkepal semakin keras, koin Rp500 di dalam sana rasanya sudah remuk. Beberapa detik lewat, telingaku hanya berisi bunyi suara hujan yang sedang memelan. Aku tak tahu seberapa besar rindu Aina, tapi aku percaya, saat diam, kami sedang memberi waktu bagi hati kami masing-masing agar memugar dirinya sendiri dari kerinduan panjang yang menyiksaku, dan mungkin Aina. 

“Ha, Halo,” kataku, agak terbata.

Lihat selengkapnya