BEGITU PANGGILAN ITU putus, aku membayangkan Aina yang sedang menderita, yang sedang menangis di sana. Siapa yang menemaninya di sana? Aku di sini menderita ditemani angin malam yang berontak, hujan yang semakin keras saja, dan pohon di pekarangan yang terlihat akan runtuh seketika karena angin.
Kubarakan sebatang sigaret lagi lalu meraih kertas-kertas manuskrip ceritaku tentang R. dari meja dan memandanginya tanpa membacanya. Masih ada janji yang belum kutepati kepada Aina. Di Jogja aku pernah berjanji untuk menulis sebuah cerita untuk Aina setelah tanpa sengaja aku menemukan dan membaca jurnal Aina tentang kisah kami. Waktu di Jogja niatku menulis cerpen, tapi malam itu, sedang memandangi hujan, aku berjanji kepada diriku bahwa aku akan menulis tentang kami, bukan hanya sebuah cerpen, tapi sebuah ‘memoar’ berbentuk novel tentang perjalanan kami. (Sl: inilah awal cerita panjang ini lahir).
Kuletakkan kertas-kertas manuskrip itu di atas meja, lalu bangkit dari kursi, dan pergi ke ujung teras, berdiri menghadap hujan yang terus mengguyur pekarangan. Aku berniat mencari ilham untuk calon novelku seperti aku mencari ilham di Jogja untuk cerpen yang tak pernah sempat kujemalkan sebagai cerpen yang selesai. Namun, memandangi hujan malah membuat aku merenungi ucapan R. tentang aku yang tak pernah mendengarkan mau mereka apa, lalu aku teringat percakapanku dengan Aina di Yogyakarta tentang hujan dan Sapardi, lalu aku mulai mempertanyakan alasan semesta mempertemukanku dengan Aina.
Sekian saat lewat, masih memandangi hujan di hadapanku, hati kecilku meminta sesuatu kepadanya, hujan yang sedang membasahi pekarangan itu adalah Hujan Permulaan Juni, hujan kebijaksanaan. Dan hujan itu seolah-olah menjawab dengan bunyi rintiknya, dengan interpretasinya tentang penggalan sajak paling romantis dari Profesor Hujan Sapardi, Sajak-Sajak Empat Seuntai. Hujan di hadapanku seolah berkata: “Tak segala perlu kau pahami, tak segala perlu kau tafsirkan. Sebab ada kata yang tercipta tanpa makna dan ada kata yang tercipta bermakna taksa. Memang, dalam kisah cinta, kertas kosong itu ditulis berdua sampai jadi kertas kisah, tapi akan selalu ada kata-kata yang tak pernah dipahami yang lain. Untuk itu, kau wajib mengirimkan arti kata yang tak dia mengerti. Jika dia tak pernah mengerti, maklumilah. Seorang pecinta lebih suka membaca kata daripada huruf, meski satu huruf bisa menyerongkan arti. Dan kau, sebagai pencinta, saat dia tak memahamimu, pahamilah dulu apa yang dia tulis. Lihat kertas kalian! Jangan sampai kemudian kata-kata miliknya baru kau temukan di sela-sela kenangan penuh ilalang dalam rangka penyesalan. Andaikata kata perpisahan itu harus terucap, setidaknya kertas kisah kalian bertuliskan selesai, bukan bersambung lalu kalian menulisnya masing-masing. Setidaknya, saat kalian harus pulang ke rumah masing-masing dan berjalan ke arah yang berlawanan, kalian tiba di ambang pintu rumah masing-masing sebagai orang yang pernah bahagia.”