AKU MEMATUNG SEKIAN saat di ambang pintu melihat penampakan ruang tengah apartemen Aina. Walau remang, jelas banyak perubahan, ruang tengah itu tampak kosong dan terasa lebih luas; tak ada lagi piano dan papan papan catur 64 kotak hitam-putih di atasnya; jumlah alat-alat musik itu berkurang banyak. Hanya ada sebuah amplifier dan satu bas, Telecaster Bass warna kuning keputihan yang kuhadiahkan sebagai hadiah setahunan kami. Lama kupandangi benda pemberianku itu dan tersenyum, aku teringat obrolan kami pada malam setahunan kami: “Mbak, kalau seandainya kamu cuma bisa punya satu bas. Kamu akan pilih Rickenbacker?”—“Dulu iya, sekarang nggak. Kamu tahu, kan, aku orangnya setia sama merek. Tapi, karena sekarang aku punya bas Telecaster pemberian pacar.” Aina mengangkat kedua alisnya. “Makanya aku harus ‘milih Telecaster.”
Rak buku itu juga kosong, hanya dua tiga buku yang tiduran di sana. Deretan buku yang biasanya ‘nampang di sana telah lenyap. Di ruang tengah itu hanya tersisa televisi dan sofa. Dapur masih seperti sedia kala. Dan aroma di apartemen itu masih sama, dan rasanya ketika menyentuh ujung hidungku pun masih sama. Manis dan penuh kenangan. Sisa-sisa kenangan.
Puas di ambang pintu, aku beranjak mendekati pintu kamar Aina. “Mbak?” Kataku sambil mengetuk permukaan pintu dengan buku-buku jari tanganku. Tak ada jawaban. Aku coba mendorong pintu itu ke dalam dengan perlahan. Tak dikunci. Aku terus mendorongnya. Dan kamar itu juga remang, sumber cahayanya hanya lampu baca. Sesosok perempuan langsung menarik perhatianku, Aina duduk di tepi ranjang, menghadap lemari, membelakangi pintu dan aku. Kujulurkan kepala ke dalam kamar, “Boleh aku masuk, Nana?”
Tak ada jawaban. Aku mulai melangkahkan kakiku di dalam kamar itu. Aina bisu, tapi tubuhnya bergerak seturut gerakan tubuhku agar terus membelakangiku. Saat aku telah duduk di kursi meja rias, Aina menggerakkan badannya sedikit ke kanan agar tetap membelakangiku, menghindari kontak mata.
Meski Aina terus menunduk, penampakannya mengejutkanku, rambutnya telah berubah bentuk. Aina berponi, dan poni terbelahnya membuat Aina tampak seperti seorang remaja; jepit rambut biru muda murahan itu terselip pada rambutnya, jepit rambut hadiah permainan yang kumainkan di pasar malam waktu kencan-kencan awal kami, hadiah pertamaku untuk Aina.
Malam itu Aina hanya mengenakan celana pendek yang ujungnya jauh dari lutut dan baju tipis yang berlengan sejari, busananya memamerkan perut dan paha si empunya. Aina juga lebih berisi. Badannya yang dulu ketat, saat itu tampak lebih kenyal.
Puas menatapi Aina, bingkai yang memuat foto kami di meja kecil di samping ranjang adalah benda pertama yang menarik perhatianku di kamar itu. Aku tersenyum seketika, amat bahagia mengetahui benda itu masih berada di tempat yang sama. Namun, begitu pandangku menyapu sekeliling berniat mencari boneka beruang yang entah ada di mana, malah tampak sajadah yang digelar di pojok ruangan; jantungku berdetak dua kali lebih cepat melihatnya. Beberapa menit kemudian, aku kembali menatap wanita di depanku, berharap Aina memalingkan wajah kepadaku.
Sadar Aina tak akan duduk menghadap ke arahku apalagi menatapku, aku lebih dulu buka mulut, “Aku senang bisa lihat kamu lagi. Kamu cantik, Mbak.” Hanya itu yang ada di kepalaku saat itu.
Aina tak menjawab, tak pula bereaksi; patung yang bisu. Kami dalam keheningan lagi.
“Kamu nggak perlu nangis, Mbak.”
Hening. Tapi, Aina mulai terisak.
“Nana, jangan ‘nangis cuma karena aku. Kalau boleh jujur, aku nggak pernah mau kita pisah karena—.” Tak kulanjutkan kalimat itu. Sekian detik diam, aku berkata lagi, “Aku sayang sama kamu, Aina.”
Begitu kalimatku selesai, sejurus Aina memalingkan wajahnya kepadaku. Mata kami berjumpa, kesan pertamaku adalah Aina menderita. Sekian detik mata kami segaris sampai Aina buka mulut dan membentakku. “Kamu nggak perlu kasih tahu itu ke aku! KATA SAYANG KAMU KE AKU, AKU KE KAMU, NGGAK AKAN BAWA KITA KE MANA-MANA!”
“Sampai kapan kita kayak gini, Mas?” Aina menantangku. “Setelah kita pisah selama ini, aku sadar, kita nggak ke mana-mana, kita nggak maju, kita nggak mundur, kita nggak benar-benar pisah, Mas. Kalau kamu datang ke sini cuma buat bilang terima kasih, atau minta kita pisah, aku siap. Asal, itu mau kamu.” Suara Aina semakin ke belakang semakin lirih. Jika saja masih hujan di luar dan kami tak berada di lantai sepuluh, suara Aina mungkin akan terbalut suara deras hujan. “Tapi, kamu nggak pernah kasih alasan kenapa kita harus selesai, Mas.”
Aku diam, menyelami mata indahnya, sedalam-dalamnya untuk mencari kata-kata di sana. “Maaf, Mbak,” kataku, hanya dua kata itu yang kutemukan.
“Kamu nggak perlu minta maaf, kita berdua salah! Kita nggak benar-benar tahu apa yang kita mau. Aku juga salah karena nggak pernah kasih tangan aku ke kamu. Sedangkan kamu, kamu nggak pernah pernah pegang tangan aku buat maju. Kita nggak pernah jalan sama-sama.” Air mata menggaris wajahnya ketika Aina selesai berkata. Sebelum tangisnya semakin menjadi, aku sigap berdiri. Tapi Aina berkata, “Jangan pegang aku!”
Dan aku duduk kembali di kursi meja rias itu.
“Aku ngerasa kamu seenaknya sama aku! Aku ngerasa kamu nggak ngehargain aku, Mas! Aku ngerasa digantung selama ini. Waktu di Solo, kamu bahkan nggak bilang apa-apa. Ibu yang bilang sama aku. Aku ngerasa nggak punya peran dalam hubungan ini. Iya, aku manja, aku selalu ‘nurut, aku tahu itu. Tapi, setelah aku pikir-pikir, aku yang kayak ‘gini, dan kamu yang tetap kayak ‘gitu, kamu yang nggak bisa ambil keputusan. Kita akan terus kayak ‘gini.” Semakin ke belakang suara Aina semakin terbata, air matanya terus keluar.
Aku bisu. Kelaki-lakianku serasa direnggut malam itu. Aku merasa sebagai pengecut. Kepalaku seketika tertunduk, dan genangan air memenuhi mataku.
Aina bangkit dari tepi ranjang lalu berlutut di hadapanku, tapi segera kupegang kedua lengannya. “Jangan, Aina! Jangan pernah berlutut di depan aku!”
Aina mengeraskan badannya dan tetap berlutut, lalu memegang meraih telapak tanganku. “Kamu harus kasih aku alasan kenapa kita nggak bisa sama-sama!”
Aku lalu duduk bersila di depan Aina tanpa mengangkat dagu. Aku takut menatap matanya.
Aina ikut bersila di lantai tanpa melepaskan tanganku, malah meraih tanganku yang satu lagi sehingga keempat tangan kami bertumpu jadi satu di atas pahanya. “Ngomong, Mas!” Tangis dan sesenggukannya tak berhenti, tapi intonasi suara Aina tegas dan berat.
Aku menggeleng, dan sejurus gelengan kepalaku, air mataku menetes untuk pertama kalinya di depan Aina. Bersama satu tetesan air mata itu, seakan segala beban pikiranku tercabut keluar bersama akar-akarnya, seakan sebuah benda yang menyumbat salah satu hidungku dan membuat aku sulit bernapas dan hampir mati selama ini, telah berhasil lepas. Agar air mata itu tak terus, aku menyeka mataku tanpa mengangkat kepala.
Aina sigap memegang tanganku dan mengangkat daguku. “Kamu kenapa ‘nangis, Mas?” Kata Aina, lalu memelukku. “Aku nggak maksud kayak ‘gitu. Aku minta maaf. Aku cuma capek sama semua ini, Mas.” Kami saling peluk dalam keadaan bersila di lantai, kedua tanganku segera meraih kepalanya dan kubenamkan pada bahuku, dan kubenamkan wajahku pada bahunya. Dalam pelukannya, aku menarik satu napas panjang. “Nggak apa-apa, Aina, aku sadar, aku egois dan pengecut. Maaf.”
“Bukan itu maksud aku, Mas.” Aina terus menangis saat itu. Tangis yang tegas. “Aku cuma capek kamu selalu takut kita perjuangkan hubungan ini.” Seterusnya tangisnya pecah lagi.