SETELAH MALAM REKONSILIASI di apartemennya, aku dan Aina sepakat untuk menjadi diri kami yang dulu selama perjalanan ke Halmahera. Aina juga telah berjanji akan berusaha untuk tegar jika kami harus pisah, asal aku memberinya alasan yang masuk akal. Alasan itu belum kuberikan, tapi akan kutunjukkan di Halmahera.
Tak banyak barang yang kubawa pada hari keberangkatan karena segala keperluanku cukup lengkap di Tobelo. Lagi pula, bisa kubayangkan banyaknya barang yang dibawa Aina. Aku hanya membawa satu ransel berisi keperluanku dalam perjalanan, laptop, dan sebuah buku yang seenaknya kuraih dari atas meja, The Old Man and the Sea.
Dan seperti biasa, aku tiba di bandara lebih dulu, persis kebangkitan matahari di timur Tangerang. Saat turun dari mobil dan menghadap raksasa yang baru bangun, aku harus menyipitkan mata, silau. Menunggu Aina, kubarakan sigaret di luar beranda bandara. Tapi baru saja sigaret menyala, Aina tiba, diantar seorang pria yang bekerja di rumah orang tuanya. Aku tersenyum semringah karena Aina tepat waktu, dan karena penampilannya menawan seperti biasa; Aina mengenakan kaus putih polos, celana jeans biru ketat, dan syal tipis warna krem menggelantungi lehernya, ujung syal menjuntai sampai perutnya.
Aina meminta tanganku dan seterusnya adalah protokol jumpa. “Kamu mau pindah kota, Mbak?” Kataku setelahnya. Aina hanya tertawa.
Segalanya berjalan menyenangkan sampai Aina pergi ke swalayan bandara dan menghampiriku lagi dengan cemas. “Mas, dompet aku ketinggalan di rumah. Semua kartu sama KTP aku di situ.”
Kepalaku menggeleng kiri-kanan puluhan kali. “Astaga! Aina, Aina.” Aku yang sedang berdiri, langsung mencari tempat duduk terdekat yang ada di sepanjang beranda bandara. Aku tak tahu lagi harus bilang apa saat itu. Aina mengekoriku, duduk di sebelahku sembari mengetik pada ponselnya.
“Kamu siap-siap dari jam berapa! Pasti buru-buru lagi!” Aku bicara dengan emosi yang sekuat tenaga kutekan. “Kebiasaan kamu ini nggak pernah berubah, ya!”
Aina sempat-sempatnya membela diri, bilang bahwa bawaannya sudah disiapkan sejak semalam sebelumnya, tapi subuh itu waktunya tersita untuk memastikan ulang isi koper sehingga saat harus berangkat, segalanya jadi buru-buru dan dompet yang Aina ingat betul ada di atas ranjang, malah terlupakan. “Kamu jangan marah-marah. Iya, aku salah. Lagian kamu juga yang suka bikin aku buru-buru. Setiap mau jalan sama kamu, aku selalu takut terlambat! Lagian masih ada waktu, kok!”
Aku tertegun sejenak. “Jadi, aku, yang salah?”