Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #26

Kisah Lana

ADA DUA RUTE menuju Tobelo, lewat Ternate dan Kao. Kali itu aku memilih yang biasa kulewati meski paling menyiksa, lewat Ternate. Jika memilih lewat Ternate, pertama, penerbangan membelah langit Jakarta-Ternate lebih kurang empat jam, lalu empat puluh lima menit memotong laut Ternate-Sofifi, diakhiri perjalanan darat empat jam lagi dari Sofifi sampai Tobelo. Perjalanan kali itu akan sangat melelahkan bagi Aina yang baru pertama kali mengunjungi Tobelo. Sebenarnya dapat saja aku mengambil penerbangan Jakarta-Manado selama tiga jam, transit sebentar, lalu ganti pesawat lebih kecil menuju bandara di Kao yang hanya berjarak satu jam dari Tobelo sehingga tidak perlu membebani Aina dengan perjalanan darat, laut, dan udara yang begitu panjang, tapi aku ingin Aina mengenal kota kelahiranku, Ternate. Walaupun Tobelo selalu dengan bangga kusebut sebagai kampung halaman, di semua dokumen resmiku, Ternate adalah tempat lahirku. Pulau kecil yang bersanding dengan gagahnya Halmahera selalu memiliki tempat tersendiri di hatiku. Niatku, jika perjalanan itu jadi kencan terakhir, maka harus punya kesan. Dan lagi, Aina harus bersemuka dengan seseorang di sana, Mama Ade.

 

Di dalam pesawat pun mogok bicara Aina belum usai. Seperti biasanya keinginan Aina, aku tanpa diminta langsung duduk di dekat jendela sementara Aina di samping lorong orang lalu lalang. Beberapa saat kami duduk, tanpa bicara dan tanpa melihat, Aina menyerahkan sepenggal roti kepadaku, kuterima dan mengunyahnya. Selanjutnya, kubuka botol air mineral, menenggaknya kemudian menyerahkannya kepada Aina. Aina menggeleng.

“Masa pemberian suami ditolak?” Aku tersenyum dengan maksud.

Aina membalas dengan air muka yang sama—tanpa arti tertentu sehingga sulit mengejawantahkannya—dan berkata, “Kamu kenapa sih, Mas, suka banget usil kayak tadi? Emangnya aku setua itu, ya?”

“Maksudnya?”

“Aku ‘udah kelihatan kayak ibu-ibu punya anak SD kelas 4, ya!”

“Astaga, Aina!” Aku mendengus dengan gelengan kepala, bersamaan, melintaslah seorang pramugari, aku langsung menghentikan pramugari itu. “Maaf, Kak. Mau tanya pendapat, menurut Kakak, saya sama mbak ini lebih tua siapa?” Kataku kepada si pramugari sambil memegang bahu Aina.

Mulanya pramugari itu agak terkejut, tapi sekejap dia tersenyum, kemudian sedikit menunduk untuk memperhatikan Aina sebentar dan berkata, “Kelihatannya, Bapak yang lebih tua.”

“Satu lagi, Kak. Kalau sama mbak ini.” Kutepuk-tepuk bahu Aina. “Jangan panggil ibu, panggil mbak atau dek sekalian. Dia sensitif soal umur.”

“Semua cewek sensitif soal umur, Pak,” pramugari itu membalas candaanku dengan tawa. Aku dan pramugari itu tertawa, tapi Aina senyum pun emoh. Karenanya, kuucapkan terima kasih dan si pramugari meninggalkan kami. Sejurus kepergian pramugari, Aina meremas kelingking kiriku. “Apaan sih, Mas!”

“Terbukti, kan? Kamu kelihatan 10 tahun lebih muda,” kataku, gombal. Aina agak senyum mendengarnya. “Mbak, aku tadi cuma mau usil, eh, kamu malah mikirnya jauh.” Aku tersenyum. “Tapi, kamu cocok sih jadi ibu-ibu muda sasaran para brondong.” Mata kiriku kedip dan aku tertawa. Aina akhirnya tertawa. Dan, suasana kembali menyenangkan.

“Nana, kita ‘udah sepakat, kalau perjalanan ini harus menyenangkan. Jangan berantem, ya! Jangan ngambek nggak jelas lagi! Dan tolonglah, jangan sampai ada yang ketinggalan lagi!”

Aina menarik satu napas panjang. “Kalau kamu tetap usilin aku, apalagi bawa-bawa umur! Aku nggak janji.” Di akhir kalimatnya, Aina tersenyum tanda sepakat.

Pada saat rekonsiliasi kami di apartemen, selain mengajaknya untuk pulang kampung bersamaku, aku juga memintanya agar kami tidak membahas hal menyangkut hubungan dan masa depan kami. Setelah Halmahera apa? Saat itu aku tak tahu. Aina apalagi. Kami hanya harus bersenang-senang. 

 

Setengah jam kemudian, pilot yang kuketahui dari pengeras suara berasal dari Bali karena namanya, akhirnya membawa pesawat kami mengangkasa. Sedang pesawat mendaki langit untuk melepaskan ibu kota di belakangnya, kubuang pandang keluar jendela, mencari kumpulan awan yang mengatasi kota metropolitan yang kian lama kian mengecil. Namun, karena hari itu cerah sekali, hampir-hampir tak ada awan dalam jangkauan pandangku.

“Mas.”

Lamunanku buyar.

Lihat selengkapnya