Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #28

Mama Ade

KELUAR DARI PINTU gerbang mimpi, aku disambut Aina di kursi samping dan seorang tua yang berdiri gagah di samping pesawat, puncaknya sejajar dengan ketinggian pesawat yang akan mendarat. Dengan kepala yang dijulurkan mendekati jendela melewatiku, Aina berkata, “Gunung Gamalama, ya, Mas?” Selama sekian saat tatapannya tak lepas dari puncak orang tua itu.

“Kamu tahu dari mana?”

“Kemarin aku sempat baca-baca soal Ternate.” Aina lalu mendikte ulang beberapa informasi penting tentang Gunung Gamalama, tingginya 1.715 mdpl, tercatat sudah lebih dari 60 kali meletus dan mitosnya bahwa jumlah pendaki tak boleh ganjil saat mendaki Gamalama. Kubenarkan semua fakta yang disampaikan Aina. “Tapi soal jumlah pendaki, aku baru tahu.” Aku terus berkata, bahwa sejak dulu, saat meletus, Gamalama tak pernah membasmi peradaban di bawahnya meski ia hanya beralas sebuah pulau.

“Kok bisa, Mas?”

Aku mengangkat bahu, “Syarat pertama jadi orang Indonesia adalah percaya takhayul.”

“Berarti kamu bukan orang Indonesia, dong.”

“Kamu anggap Tuhan itu takhayul, Mbak?”

“Nggak!” Kata Aina, tegas. “Omongan kita ini mau kemana, sih?”

Aku tertawa, Aina tertawa.

 

Setelah roda pesawat menapaki aspal lintasan lalu para penumpang dipersilakan turun, dan udara Kota Ternate menusuk hidungku, aku sempat memejamkan mata sekian detik seraya menarik satu napas panjang; entah mengapa udara kampung halaman begitu nikmat terasa, ada satu rasa yang berbeda, rasa yang sangat akrab, rasa yang tanpa sadar kurindukan dan membencinya pada saat yang sama. Itu kesanku sejak dulu. Kesan Aina berbeda: “Panas banget, Mas.”

Lihat selengkapnya