Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #29

Pulau Halmahera

AKU DAN AINA di atas feri. Kami harus menumpang kapal itu karena Mama Ade memaksa kami membawa mobilnya. Daripada transportasi laut lain untuk menyeberang dari Ternate ke Sofifi, jika aku punya banyak waktu, aku pasti naik feri dari menuju Sofifi, sebab kecepatannya yang lambat memberi kesempatan untuk menikmati keindahan pulau-pulau di sekitar Halmahera. Selain keindahannya, pulau-pulau di Maluku Utara adalah saksi bisu beberapa peristiwa atau perang penting dalam sejarah Indonesia dan dunia.

Provinsi Maluku Utara, atau aku lebih suka menyebutnya Halmahera, adalah negeri di mana banyak bangsa berperang. Sejak zaman persaingan dua kolano atau kekuatan adidaya (Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore), negeri Moloku Kie Raha sudah terlatih jadi tuan rumah perang, lebih-lebih karena eksistensi para penjajah Eropa selama ratusan tahun. Usai orang Eropa berulah, datanglah para penjajah dari Jepang, disusul Amerika Serikat dan sekutunya. Akhirnya, secara terpaksa Halmahera jadi saksi bisu Perang Dunia II ketika Amerika Serikat meminjam sebentar Pulau Morotai di Utara Halmahera untuk jadi pangkalan militernya. Bahkan, setelah bendera Indonesia berkibar, Halmahera pun masih sempat jadi saksi peristiwa Permesta dan Trikora.

Peristiwa-peristiwa di atas menjadikan tanah airku mahir sebagai tuan rumah bangsa lain berperang. Hingga kemudian, usai reformasi, persis di pengujung milenium, sesuatu terjadi lagi, sebuah perang saudara yang membuat para leluhur menangis. Aku tak bisa menuliskan peristiwa ini lebih rinci sebab seluruh tubuhku pasti mengeras, bahkan hanya membayangkannya saja; lagi pula, terlalu sensitif bila aku memerincinya. Sudah kukatakan, mama jadi janda karena peristiwa ini.

Di tengah laut antara Ternate-Halmahera, ada beberapa pulau yang tampak, tapi Ternate-Tidore adalah yang paling berkesan untukku, dan selalu mengingatkanku akan Y. B. Mangunwijaya. Dalam sebuah karangan yang berlatar sejarah Halmahera, beliau mengumpamakan Ternate dan Tidore (dua penguasa Maluku Utara pada masanya) bagai buah dada seorang perempuan, kembar bentuk dan keadaan, tapi sering saling menyakiti. Aku suka perumpamaan itu, dan mungkin perlu ditambahkan bahwa Pulau Halmahera adalah tubuh perempuan tersebut. Tubuh yang dilukai oleh dirinya sendiri ketika Halmahera menjadi saksi perang saudara tahun 2000. Bagiku, Pulau Halmahera adalah tubuh perempuan yang hidup beralaskan luka, darah, dan air mata; satu raga yang pernah saling melukai.

 

Lebih kurang satu jam kemudian; setelah feri itu merapati Pelabuhan Sofifi, lima jam berikutnya kami habiskan di jalan raya membelah tanah Halmahera. Hanya ada satu jalan yang menghubungkan Sofifi dan Tobelo, di mana sepanjang ratusan kilometer tersebut selalu terlihat pohon kelapa, kadang alang-alang, pala, cengkeh, dan seterusnya. Tak ada sawah, sebab kebanyakan kami tak mengenal persawahan sebelum kedatangan para transmigran yang ditempatkan di pedalaman. Orang Halmahera memang ‘dikutuk’ Belanda untuk hidup dengan pohon kelapa, ‘kutukan’ itu telah ada selama beberapa generasi, membudaya, sehingga kelapa dan kopra mustahil dipisahkan dari kami.

Jalan yang hanya cukup untuk dua mobil, aspal yang berlubang, ratusan tanjakan dan tikungan tajam membuat Aina sering menegurku agar hati-hati, karenanya perjalanan kami melewati puluhan kampung memakan waktu hampir lima bahkan enam jam.

Karena kampung atau permukiman di Halmahera tertata berdasarkan garis pantai, Aina–layaknya kebanyakan manusia yang menghabiskan hidup di kota dan memiliki selera pantai yang buruk–berulang kali memuji pantai-pantai yang tampak lalu mengajukan pertanyaan, “Mas, pantai ini namanya apa?” Bila ada kampung dekat pantai tersebut, aku hanya menyebut nama kampungnya saja. Bila pantainya jauh dari kampung mana pun, aku menggeleng. “Nggak tahu.”

Lihat selengkapnya