KAMI TIBA DI Kota Tobelo, di rumah Tua Pendeta, saat malam sedang beranjak remaja, sekitar jam 9 atau jam 10. Penampakan rumah Tua Pendeta selaras rumah-rumah penduduk di Tobelo: punya pekarangan yang luas serta di pekarangan itu berdiri paling kurang satu pohon. Dari luar pagar rumah berwarna coklat muda itu, tampak banyak pot tanaman hias yang digantung di mana-mana serta beberapa dijejerkan di bawah jendela muka. Sama seperti rumah mama, tak terlihat penampakan teras, karena pekarangan yang luas itu diisi oleh banyak sekali tumbuhan: Pohon mangga–tentu saja, belasan tanaman hias, dan beberapa pohon rambutan yang masih terlalu muda untuk berbuah. Meski begitu, masih tersedia tempat parkir mobil di samping rumah.
Kami disambut adik sepupu perempuanku—anak Tua Pendeta—yang sedang duduk di teras, menempati salah satu dari tiga kursi dengan sebuah meja bambu. Gadis itu histeris saat menyambut kami turun dari mobil dan langsung memeluk Aina, setelahnya baru dia memelukku. Kami melepas rindu sebentar lalu menuju meja makan. Di meja makan hanya kami bertiga, sebab Tua Pendeta telah kembali ke desa tempatnya bertugas sebagai Ketua Jemaat Gereja, tempatnya cukup jauh di utara Tobelo. Percakapan kami di meja makan lebih banyak soal Kecere, Aina masih menyayangkan berakhirnya kisah cinta adikku dengan Kecere. Namun, Aina bahagia ketika adikku itu bercerita bahwa dia telah punya orang dekat baru. “Awas, ya, kamu ‘nangis-nangis lagi!” Kata Aina.
“Mbak Nana juga, jangan nangis-nangis lagi!” Kata adikku kepada Aina, tapi tatapannya kepadaku.
Seusai kami bertiga ngoral-ngidul di meja makan, dua perempuan itu sibuk di dapur, sementara aku menuju teras. Belum satu batang sigaret jadi puntung, ujuk terdengar bunyi musik berisik, dentuman basnya bahkan menggetarkan kaca-kaca rumah. Disko tanah sedang berlangsung tak jauh dari rumah Tua Pendeta. (Sl: disko tanah atau pesta adalah lumrah bahkan sebuah budaya di Tobelo, Halmahera, dan Indonesia Timur secara umum. Pesta rakyat itu biasanya diadakan bila ada acara syukuran pernikahan atau ulang tahun, meski ada orang kurang ajar yang mengadakannya untuk syukuran baptisan atau syukuran agama. Tuan rumah yang ‘bersyukur’ akan menyediakan rumahnya sebagai tempat para tamu berpesta sepanjang malam, minum captikus, mabuk, berdansa dan menari diiringi musik khas diskotek, sampai nanti ditutup dengan perkelahian, dan pesta bubar. Prinsipnya sama dengan diskotek di kota-kota besar, hanya saja pesta pora ini dilangsungkan di pekarangan rumah, tanah sebagai lantai dansa; karena itu banyak yang menyebutnya disko tanah).